Fumio Kishida, Mantan Bankir yang Kini Jadi Perdana Menteri Jepang
Fumio Kishida resmi terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Jepang. Politikus berusia 64 tahun tersebut akan menggantikan PM Yoshihide Suga yang sudah mengumumkan pengunduran diri.
Kishida terpilih sebagai Ketua Partai Demoktrak Liberat (LDP), pada Rabu (29/9) mengalahkan Menteri Urusan Vaksin Covid-19 Taro Kono dalam persaingan ketat. Posisi Ketua Partai LDP otomatis menjadikan Kishida sebagai PM Jepang.
Dilansir dari Kyodo, politikus kelahiran 29 Juli 1957 tersebut mengalahkan Kono dalam dua putaran. Kishida memperoleh 257 dari 427 suara yang valid sementara Kono mengamankan 170 suara.
Dalam putaran pertama yang melibatkan 762 suara, Kishida unggul dengan 256 suara sementara Kono 255. Sementara itu, dua perempuan yang menjadi kandidat yakni Sanae Takaichi mendapatkan 188 dan Seiko Noda sebanyak 63.
Kishida juga pernah bertarung dalam pemilihan Ketua Partai LDP tetapi kalah dari Suga.
"Kita masih berada dalam situasi krisis nasional. Kita harus berjuang dan melanjutkan kebijakan melawan corona. Corona sudah memecah belah hati warga jepang. Saya ingin membawa kembali semangat bekerja sama sebagai satu tim untuk membawa negara ini kelaur dari kisis,"tutur Kishida, seperti dilansir Bloomberg.
Kishida dianggap sebagai pilihan yang aman untuk membawa Jepang bangkit kembali setelah terdampak pandemi Covid-19.
Kendati kerap dianggap kurang berkharisma, jenjang karier politiknya yang panjang diharapkan bisa membantunya memenangi "hati" pemilih dalam pemilihan umum November mendatang.
Sebelumnya, Kishida berjanji memberikan paket stimulus lebih dari 30 triliun yen (Rp 3.840 triliun) untuk membawa Jepang bangkit dari pandemi. Penggemar baseball itu juga akan meminta Bank of Japan (BOJ) mempertahankan target inflasi 2% dan program stimulus besar-besaran.
Kishida juga berkomitmen untuk membereskan persoalan ketidakadilan pendapatan serta menyingkirkan ekonomi neo-liberal yang menguasai Jepang dalam dua dekade terakhir.
Lahir di Shibuya, Tokyo, Kishida mengawali kariernya justru sebagai bankir. Lulus dari Sekolah Hukum Waseda University di tahun 1982, dia bergabung di Long-Term Credit Bank of Japan, Ltd pada 1983. Pada tahun 1987, dia bekerja sebagai sekretaris salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jepang.
Mengikuti jejak keluarganya, Kishida mulai berkecimpung di dunia politik pada 1993. Dia mengikuti pemilihan umum pada tahun tersebut dan terpilih sebagai salah satu anggota parlemen.
Karier politik membawanya dekat dengan pemerintahan dan pada pahun 2001, dia ditunjuk sebagai Wakil Menteri Senior Bidang Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada tahun 2005 dia kembali ke parlemen dan duduk sebagai keua koite bidang kesehatan, buruh, dan kesejahteran.
Pada periode 2007-2008, dia kembali ke pemerintahan dan menduduki sejumlah pos menteri di era kepemimpian PM Shinzo Abe dan Takeo Fukuda. Pada tahun 2011, ayah tiga anak ini terpilih sebagai ketua dari Partai LDP di parlemen Jepang.
Kishida ditunjuk sebagai menteri luar negeri pada 2012-2016 oleh PM Abe. Salah satu prestasi terbesarnya sebagai menteri luar negeri adalah meyakinkan mantan Presiden Amerika Serikat saat itu Barack Obama untuk berkunjung ke Hiroshima.
Obama menjadi Presiden AS pertama yang mengunjungi lokasi pengemboman nuklir di Hiroshima, sebuah kunjungan yang sangat bersejarah mengingat apa yang terjadi pada Agustus 1945.
Dilansir dari Channelnewsasia, Tobias Harris, pengamat dari Center for American Progress mengatakan Kishida akan lebih fleksibel dalam urusan politik luar negeri daripada Kono. Kendati demikian, dalam beberapa hal Kishida bisa saja bertindak konservatif.
Kishida pernah tinggal beberapa tahun di New York di mana dia mengalami tindakan rasisme. Pengalaman inilah yang menurut Tobias dinilai bisa memberikan dorongan bagi Kishida untuk bertindak adil.
Kishida juga dikenal lebih terbuka kepada publik. Dia, misalnya, tidak ragu untuk berdiskusi dengan pemilihnya. Dia mengundang pemilihnya untuk meninggalkan pesan di siggestion box dan membawa notebook ke acara yang dia hadiri untuk menyerap aspirasi publik.
Namun, upayanya untuk mendekatkan diri dengan publik tidak selalu mulus. Tahun lalu, dia pernah diejek publik karena memposting foto di twitternya yang memperlihatkan istrinya tengah melayaninya makan malam dengan mengenakan celemek.
"Persoalannya adalah seberapa jauh dia mampu untuk menarik pemilih di pemilu November mendatang. Dia sedikit menarik dalam cara berkampanye tetapi pemilu sesungguhnya adalah hal lain. Persoalan lainnya adalah sejauh mana dia bisa mengembangkan kepemimpinannya,"tutur Yu Uchiyama, profesor politik dari Universitas Tokyo, se[erti dikutip dari Bloomberg.