PBB Proyeksi Ekonomi Global Melambat Jadi 1,9% pada 2023
Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa yang dirilis pada Rabu (25/1) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat dari sekitar 3% pada 2022 menjadi 1,9% pada 2023. Penurunan ini menandai salah satu tingkat pertumbuhan terendah dalam beberapa dekade terakhir.
“Di tengah inflasi yang tinggi, pengetatan moneter yang agresif, dan ketidakpastian yang meningkat, penurunan saat ini telah memperlambat laju pemulihan ekonomi dari krisis COVID-19, mengancam beberapa negara - baik maju maupun berkembang - dengan prospek resesi pada 2023,” tulis PBB dalam laporannya seperti dikutip dari Antara, Kamis (26/1).
Lebih lanjut, laporan PBB tersebut menjabarkan momentum pertumbuhan melemah secara signifikan terjadi di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara maju lainnya. Penurunan ini berdampak buruk pada ekonomi global lainnya melalui sejumlah saluran.
Di sisi lain PBB memperkirakan pertumbuhan global akan meningkat secara moderat menjadi 2,7 persen pada 2024. Peningkatan ditopang oleh beberapa hambatan ekonomi makro yang diperkirakan akan mulai mereda tahun depan.
Di Amerika Serikat, Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan tumbuh hanya 0,4 persen pada 2023 setelah perkiraan pertumbuhan 1,8 persen pada 2022. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Cina diproyeksikan akan meningkat secara moderat pada 2023.
Pemerintah Cina diperkirakan akan menyesuaikan kebijakan COVID pada akhir 2022 serta melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal. Laporan PBB memperkirakan pertumbuhan ekonomi China diperkirakan akan meningkat menjadi 4,8 persen pada 2023.
“Ini menunjukkan bahwa pengetatan kondisi keuangan global, ditambah dengan dolar yang kuat, memperburuk kerentanan fiskal dan utang di negara-negara berkembang,” tulis laporan itu.
Sebagian besar negara berkembang melihat pemulihan pekerjaan yang lebih lambat pada 2022. Laporan memperingatkan bahwa pertumbuhan yang lebih lambat, ditambah dengan inflasi yang tinggi dan kerentanan utang yang meningkat, mengancam pencapaian pembangunan berkelanjutan. Situasi ini juga diperkirakan akan memperdalam efek negatif dari krisis saat ini.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial, Li Junhua mengatakan pada 2022 jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2019, mencapai hampir 350 juta. Laporan PBB tersebut juga menyebut kelemahan ekonomi yang berkepanjangan juga membatasi kemampuan negara untuk berinvestasi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.
“Krisis saat ini paling parah menyerang yang paling rentan – seringkali bukan karena kesalahan mereka sendiri. Komunitas global perlu meningkatkan upaya bersama untuk mencegah penderitaan manusia dan mendukung masa depan yang inklusif dan berkelanjutan untuk semua,” ujar Li Junhua.
Dalam laporan tersebut PBB meminta pemerintah dari tiap negara menghindari penghematan fiskal yang akan menghambat pertumbuhan. Penghematan juga diyakini bisa mempengaruhi kemajuan dalam kesetaraan gender, dan menghalangi prospek pembangunan lintas generasi.
PBB menyarankan pemerintahan di setiap negara melakukan realokasi dan reprioritas pengeluaran publik melalui intervensi kebijakan langsung. Kebijakan ini dipercaya bisa menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi.
"Kerja sama internasional tidak pernah lebih penting dari sekarang untuk menghadapi berbagai krisis global dan membawa dunia kembali ke jalurnya untuk mencapai SDG."
PBB memperkirakan kebutuhan pembiayaan SDG tambahan di negara berkembang mencapai beberapa triliun dolar AS per tahun. Karena itu dibutuhkan komitmen internasional yang lebih kuat untuk memperluas akses ke bantuan keuangan darurat, guna restrukturisasi dan mengurangi beban utang di seluruh negara berkembang.