OECD: Pelambatan Ekonomi Cina Mengancam Pertumbuhan Global
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyatakan pelambatan ekonomi Cina yang lebih dalam dari perkiraan menjadi ancaman utama terhadap pertumbuhan ekonomi global selain risiko geopolitik. Kepercayaan konsumen yang lemah dan sektor properti yang dibayangi risiko gagal bayar sejumlah pengembang properti yang memiliki leverage tinggi menjadi pusat kekhawatiran tersebut.
Dalam OECD Economic Outlook, Interim Report September 2023, lembaga internasional itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Cina pada 2023 hanya sebesar 5,1%, proyeksi ini lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,15%. Perekonomian negara Xi Jinping itu akan semakin melambat ke level 4,6% pada 2024.
"Cakupan dan efektivitas dukungan kebijakan pemerintah Cina bakal lebih terbatas dibandingkan sebelumnya. Meningkatnya utang publik, terutama untuk sarana investasi pemerintah daerah, membatasi ruang lingkup inisiatif fiskal berskala besar, dan pelemahan di pasar perumahan mengganggu saluran utama pelonggaran kebijakan moneter," kata OECD dalam laporan tersebut.
Berdasarkan skenario yang disusun OECD, penurunan sebesar 3 poin persentase terhadap pertumbuhan permintaan domestik Cina akan berdampak pada penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,6 poin persentase. Jika terjadi pengetatan kondisi keuangan global yang signifikan, penurunannya bisa mencapai 1 poin persentase.
"Pelambatan ekonomi Cina yang lebih dalam akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi mitra perdagangannya dan menyeret kepercayaan dunia usaha," ujar OECD.
Secara umum, OECD menilai perekonomi global pada semester pertama tahun ini lebih kuat dibandingkan proyeksi sebelumnya. Namun, prospek pertumbuhan ekonomi global masih lemah, inflasi yang tinggi, dan risiko-risiko lain yang signifikan berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi.
OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 mencapai 3% kemudian melambat menjadi 2,7% pada 2024. India akan mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2023 dan 2024 masing-masing sebesar 6,3% dan 6%. Cina di posisi kedua dengan pertumbuhan ekonomi 5,1% pada 2023 dan 4,6% pada 2024. Adapun Indonesia di posisi ketiga dengan pertumbuhan ekonomi 4,9% pada 2023 dan 5,2% pada 2024.
Krisis di Sektor Properti
Sebelumnya, survei yang dilaksanakan Bank of America pada September menunjukkan para responden yang khawatir terhadap masalah di sektor properti Cina meningkat dua kali lipat menjadi 33% dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Kasus gagal bayar raksasa real estat Cina, Evergrande, yang terjadi pada 2021 dikhawatirkan terulang pada Country Garden.
Country Garden menghadapi masalah likuiditas mendekati masa jatuh tempo obligasi senilai US$ 500 juta yang memiliki suku bunga 6,15% pada September 2025. Pada awal bulan ini, Contry Garden hampir tidak mampu membayar bunga obligasi itu sebesar US$ 15 juta. Pada Agustus lalu, pengembang raksasa ini terlambat membayar bunga dua obligasinya senilai US$ 22,5 juta. Namun, mereka masih terselamatkan karena bisa membayar bunga tersebut sebelum masa tenggang yang diberikan para pemegang obligasi berakhir.
Pemerintah Cina sudah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pasar propertinya. Dalam jangka pendek, kebijakan ini mampu mendorong permintaan di pasar properti tetapi tidak bertahan lama. Contohnya di Beijing, jumlah rumah yang terjual turun 35% dari 2.600 unit menjadi 1.700 unit dalam sepekan. Penjualan rumah baru yang dilakukan para pengembang juga menunjukkan tren serupa.
Moody's Investor Service menurunkan prospek sektor properti Cina menjadi negatif. Lembaga pemeringkat global itu memprediksi penjualan rumah akan turun sebesar 5% dalam enam hingga 12 bulan ke depan, sebagian karena krisis yang disebabkan oleh Country Garden.