Sejarah Konflik Israel-Palestina yang Terjadi Hingga Kini
Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu konflik terpanjang dan paling kompleks dalam sejarah dunia modern. Konflik ini berakar pada pertengahan abad ke-20, dan penyebabnya melibatkan faktor-faktor sejarah, agama, budaya, dan politik yang rumit.
Terbaru, Israel melakukan pemboman besar-besaran di jalur Gaza sepanjang Senin malam (9/10). Berdasarkan laporan Al Jazeera, sebanyak 1.500 orang dilaporkan tewas akibat serangan tersebut. Gempuran Israel di jalur Gaza ini merupakan respons atas serangan Hamas, yang menembakkan 2.200 roket ke arah Israel selatan dan tengah, termasuk Tel Aviv dan Yerusalem.
Konflik antara Israel dan Palestina memiliki akar yang sangat kompleks, dengan banyak faktor yang telah memainkan peran dalam memicu dan memperpanjang konflik tersebut. Beberapa penyebab utama konflik ini antara lain hak kepemilikan tanah yang sama di wilayah Palestina, yang mencakup Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur.
Pembentukan negara Israel pada 1948 adalah salah satu titik awal konflik. Itu menghasilkan perang Arab-Israel pertama, dengan negara-negara Arab menentang pembentukan Israel. Berikut ini sejarah konflik Israel-Palestina yang telah berjalan sejak pertengahan abad ke-20.
Awal Mula Konflik Israel-Palestina
Pada awal abad ke-20, wilayah Palestina adalah bagian dari Kesultanan Utsmaniyah. Namun, pada 1916 wilayah ini berada di bawah kekuasaan Inggris dan Prancis. Kedua negara ini berkomitmen untuk membagi wilayah tersebut setelah perang berakhir, sesuai dengan Perjanjian Sykes-Picot.
Pada 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan deklarasi yang mendukung pembentukan "Tanah Air Nasional Bagi Orang-orang Yahudi" di Palestina. Kemudian, setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations memberikan Inggris mandat penuh atas Palestina. Pada masa pendudukan Inggris inilah, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat.
Imigrasi secara besar-besaran ini, memicu ketegangan antara penduduk Arab Palestina dan orang-orang Yahudi yang datang. Meski demikian, tensi atau ketegangan yang timbul, belum menjadi konflik.
Imigrasi orang-orang Yahudi semakin meningkat pada masa Perang Dunia II, karena banyak dari mereka menghindari tekanan yang dilakukan oleh rezim Nazi di Jerman.
Pada masa rezim Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler, pemerintah Jerman banyak menangkap orang Yahudi, dan menempatkan mereka dalam kamp-kamp militer. Hal ini membuat banyak orang Yahudi yang berada di Eropa pergi. Salah satu tujuannya, adalah Palestina, yang dalam kepercayaan Yahudi merupakan "Tanah yang Dijanjikan Tuhan".
Meski demikian, imigrasi tersebut tidak sepenuhnya berjasil. Sebab, Inggris selaku penguasa di Palestina membatasi kedatangan orang-orang Yahudi, yang kemudian membuat maraknya imigran ilegal.
Imigrasi ilegal ini berhasil digagalkan oleh Inggris yang memblokade jalur masuk dengan mengerahkan delapan kapal perang di perairan sekitar Palestina. Para imigran itu pun gagal masuk ke Palestina dan kemudian ditahan di kamp pengungsi di Siprus. Beberapa di antaranya juga ditahan di Palestina dan Mauritius.
Situasi inilah yang membangkitkan adanya perlawanan dari kelompok bersenjata Yahudi di Palestina, yang menebar teror. Aksi teror ini dilakukan oleh kelompok sayap kanan Zionis, Irgun.
Kondisi yang darurat ini membuat banyak negara meminta agar Inggris membuka jalur imigrasi Yahudi ke Palestina. Pada 20 April 1946, Komite Gabungan Inggris-Amerika Serikat yang dibentuk PBB, merekomendasikan 100.000 orang Yahudi bermigrasi ke Palestina.
Namun hal ini ditolak oleh Pemerintah Arab, sehingga Inggris pun merasa tidak mampu lagi mengelola Palestina, dan pada akhirnya memberikan mandat pengelolaan Palestina kepada PBB.
Ketegangan semakin memanas saat PBB mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, yakni satu untuk Yahudi dan satu Arab. Usulan tersebut kemudian disetujui meski mendapat penolakan dari sejumlah negara Arab. Kemudian, pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, pemimpin Komite Nasional Yahudi di Palestina, mengumumkan berdirinya negara Israel.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, pasukan dari lima negara Arab, yakni Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Libanon, menyerbu wilayah Israel. Lima negara ini berargumentasi, bahwa serangan ini adalah dalam mendukung hak-hak Palestina dan mencegah pendirian negara Yahudi di tanah tersebut.
Meski diserang oleh lima negara, Israel tidak goyah. Pasalnya, pasukan Israel secara umum memiliki keunggulan dalam hal pemimpin militer dan persenjataan yang lebih baik, karena mendapat bantuan dari AS. Alhasil, pasukan dari lima negara Arab justru terdesak.
Di akhir perang tersebut, Israel malah memegang kendali atas wilayah yang lebih luas daripada yang diamanatkan oleh PBB. Meski memenangkan perang, konflik antara Israel dan Palestina tidak reda, bahkan cenderung meningkat eskalasinya di kemudian hari.
Konflik Semakin Memanas
Pasca Perang Arab-Israel yang dimenangkan oleh Israel, konflik yang terjadi tidak begitu saja mereda, melainkan semakin memanas. Berakhirnya perang tidak segera diikuti dengan resolusi yang mampu mengakomodir Israel maupun Palestina. Sebaliknya, Israel justru semakin menambah wilayah.
Selama beberapa dekade, konflik ini telah mengalami berbagai insiden, perang, dan ketegangan. Berikut adalah beberapa konflik signifikan dalam sejarah konflik Israel-Palestina.
1. Perang Enam Hari (1967)
Israel meluncurkan serangan mendadak terhadap negara-negara Arab di sekitarnya pada 1967 dan merebut wilayah yang signifikan, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
2. Perang Yom Kippur (1973)
Pada 1973, negara-negara Arab meluncurkan serangan mendadak pada hari Yom Kippur, yang mengakibatkan perang berkepanjangan antara Israel dan koalisi negara-negara Arab. Perang berakhir setelah AS merintis Perjanjian Camp David pada 1978, yang menyatukan Israel dan Mesir dalam perdamaian.
Konflik ini menghasilkan perubahan signifikan dalam dinamika politik Timur Tengah, termasuk peningkatan peran AS dalam menengahi konflik di kawasan tersebut. Pihak Arab memang tidak mencapai tujuan militer yang signifikan, namun perang ini menggugah kesadaran internasional tentang konflik Israel-Palestina dan memberikan dorongan bagi negosiasi perdamaian.
3. Intifada Pertama (1987-1993)
Intifada Pertama adalah sebuah gelombang demonstrasi, kerusuhan, dan perlawanan sipil yang terjadi di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah-wilayah pendudukan Israel antara tahun 1987 dan 1993. Intifada ini dimulai pada Desember 1987 dan berlangsung selama sekitar enam tahun. Kata "intifada" dalam bahasa Arab berarti "pemberontakan" atau "perlawanan".
Intifada Pertama dipicu oleh beberapa faktor, termasuk penindasan dan ketidakpuasan warga Palestina terhadap pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Faktor-faktor yang memicu kemarahan meliputi kebijakan-kebijakan Israel yang meresahkan, seperti pembangunan pemukiman Israel di wilayah-wilayah pendudukan dan peningkatan kontrol militer.
Intifada Pertama terdiri dari berbagai tindakan perlawanan, termasuk protes damai, pemogokan, pemboikotan produk Israel, serta tindakan perlawanan bersenjata seperti lemparan batu dan molotov. Israel meresponsnya dengan tindakan keras, termasuk penahanan massal, pembatasan pergerakan, penutupan wilayah, dan penggunaan kekuatan militer.
Intifada Pertama menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik Israel-Palestina, dan banyak negara dan organisasi internasional mengutuk tindakan keras Israel dan mendesak untuk solusi damai.
Ketegangan ini diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Oslo antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO). Melalui perjanjian ini, Israel mengakaui secara resmi Otoritas Palestina.
4. Intifada Kedua (2000-2005)
Intifada Kedua, yang juga dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa, adalah gelombang kekerasan dan perlawanan Palestina yang terjadi antara tahun 2000 dan 2005. Ini adalah gelombang kedua dari Intifada, dengan Intifada Pertama terjadi antara tahun 1987 dan 1993.
Ketegangan ini dimulai setelah kunjungan kontroversial oleh pemimpin politik Israel, Ariel Sharon, ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada 2000 silam. Kunjungan ini dipandang oleh banyak orang Palestina sebagai provokasi dan pencobaan Israel untuk mengklaim kendali lebih besar atas situs suci tersebut.
Intifada Kedua melibatkan serangkaian protes, bentrokan, tindakan perlawanan bersenjata, serangan bom bunuh diri, dan operasi militer oleh Israel. Demonstrasi besar-besaran dan pemogokan umum juga terjadi di wilayah-wilayah pendudukan Israel.
Israel merespons Intifada Kedua dengan operasi militer besar-besaran di Tepi Barat, termasuk operasi yang bertujuan untuk menangkap militan Palestina dan menghancurkan infrastruktur terkait.
Intifada Kedua menghasilkan kerugian besar dalam hal korban jiwa di kedua belah pihak dan banyak luka-luka. Selain itu, Terjadi perubahan dramatis dalam geografi Tepi Barat, termasuk pembangunan tembok perbatasan yang memisahkan wilayah Palestina dari wilayah Israel.
Intifada Kedua berakhir secara bertahap, dan perundingan damai dilanjutkan. Pada 2005, Israel mengumumkan rencana penarikan dari Jalur Gaza, yang dilaksanakan pada tahun yang sama.
Intifada Kedua memiliki dampak yang signifikan pada wilayah dan konflik Israel-Palestina. Meskipun telah ada upaya perdamaian dan negosiasi selama dan setelah Intifada Kedua, isu-isu yang mendasarinya, seperti status Yerusalem, pemukiman Israel, dan nasib pengungsi Palestina, masih menjadi tantangan besar dalam mencari solusi damai dan berkelanjutan bagi konflik tersebut.
5. Perang Gaza (2008-2009; 2012; 2014)
Perang Gaza merujuk pada serangkaian konflik bersenjata antara Israel dan Jalur Gaza, wilayah yang dikuasai oleh kelompok Hamas dan yang juga dihuni oleh sejumlah besar warga Palestina. Konflik ini telah terjadi dalam beberapa bentuk selama beberapa dekade terakhir, dengan beberapa episode yang paling signifikan terjadi pada tahun 2008-2009, 2012, dan 2014.
Perang Gaza memiliki latar belakang yang rumit, dengan banyak faktor yang memainkan peran, termasuk sengketa atas tanah, ketegangan politik, dan konflik antara Israel dan Hamas, sebuah kelompok Islam militan yang menguasai Jalur Gaza.
Serangan Israel di Gaza sering dimulai dengan serangan udara yang luas sebagai respons terhadap serangan roket oleh kelompok-kelompok bersenjata di Gaza. Operasi-operasi militer darat juga pernah diluncurkan oleh Israel selama beberapa konflik, seperti Operasi Cast Lead pada 2008-2009, Operasi Pilar Pertahanan pada 2012, dan Operasi Protective Edge pada 2014.
6. Eskalasi di Yerusalem (2021)
Eskalasi di Yerusalem pada tahun 2021 adalah salah satu konfrontasi dalam konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Konflik ini dimulai pada April 2021 dan mencakup serangkaian peristiwa dan ketegangan yang terjadi di Yerusalem, terutama di sekitar situs-situs suci bagi tiga agama besar, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi.
Ketegangan diawali dari penghalangan akses Masjid Al-Aqsa. Selama bulan suci Ramadan, terjadi ketegangan ketika Israel membatasi akses Muslim ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, salah satu situs paling suci dalam agama Islam. Atas penghalangan akses ini, terjadi bentrokan antara warga Palestina dan pasukan keamanan Israel di sekitar Masjid Al-Aqsa.
Sebagai tanggapan atas ketegangan di Yerusalem dan serangan balasan Israel, kelompok Palestina, terutama Hamas di Gaza, mulai meluncurkan roket ke wilayah Israel. Serangan ini kemudian dibalas Israel dengan serangan udara yang luas. Konflik pun melebar menjadi pertempuran berlarut-larut selama sekitar 11 hari.
Setelah tekanan internasional dan mediasi Mesir, Uni Emirat Arab, dan Qatar, gencatan senjata diumumkan pada 21 Mei 2021, mengakhiri fase intens dari eskalasi. Selama eskalasi, terjadi demonstrasi besar-besaran di Tepi Barat yang menyebabkan bentrokan dengan pasukan keamanan Israel.
Eskalasi ini menghasilkan korban jiwa dan kerusakan yang signifikan di Gaza dan wilayah sekitarnya. Ini juga menciptakan ketegangan yang meningkat di seluruh wilayah Yerusalem dan Tepi Barat.
Meskipun gencatan senjata diumumkan, isu-isu yang mendasarinya, termasuk status Yerusalem, pembangunan pemukiman Israel, hak-hak pengungsi Palestina, dan solusi perdamaian, tetap belum terselesaikan dan terus menjadi sumber ketegangan.