Hasil Exit Poll: Putin Menang Telak di Pemilu Rusia

Hari Widowati
18 Maret 2024, 05:58
Presiden Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan umum (Pemilu) Rusia, pada Minggu (17/3).
123rf.com
Presiden Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan umum (Pemilu) Rusia, pada Minggu (17/3).
Button AI Summarize

Presiden Vladimir Putin menang telak dalam pemilihan umum (Pemilu) Rusia, pada Minggu (17/3). Ia mengukuhkan cengkeramannya pada kekuasaan, meskipun ribuan penentangnya melakukan protes pada siang hari di tempat pemungutan suara dan Amerika Serikat mengatakan bahwa pemungutan suara itu tidak bebas dan tidak adil.

Bagi mantan letnan kolonel KGB yang pertama kali berkuasa pada tahun 1999 ini, hasil Pemilu menjadi peringatan bagi para pemimpin negara-negara Barat bahwa Rusia akan semakin kuat, baik dalam perang maupun damai.

Berdasarkan hasil awal Pemilu Rusia ini, Putin yang kini berusia 71 tahun akan dengan mudah mendapatkan masa jabatan enam tahun untuk kelima kalinya. Putin mengikuti jejak Josef Stalin yang menjadi pemimpin terlama di Rusia selama lebih dari 200 tahun.

Menurut exit poll yang dilakukan oleh Public Opinion Foundation (FOM), Putin memenangkan 87,8% suara, hasil tertinggi dalam sejarah pasca-Soviet Rusia. Pusat Penelitian Opini Publik Rusia (VCIOM) menempatkan Putin pada angka 87%. Hasil resmi pertama menunjukkan bahwa jajak pendapat itu akurat.

Kandidat komunis Nikolai Kharitonov berada di urutan kedua dengan perolehan suara kurang dari 4%. Sementara itu, pendatang baru Vladislav Davankov di urutan ketiga dan Leonid Slutsky yang merupakan seorang ultra-nasionalis berada di urutan keempat.

"Pemilu ini jelas tidak bebas dan tidak adil mengingat bagaimana Putin memenjarakan lawan-lawan politiknya dan mencegah orang lain untuk mencalonkan diri," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, seperti dikutip Reuters, Minggu (17/3).

Pemilu ini berlangsung dua tahun sejak Putin memicu konflik Eropa yang paling mematikan sejak Perang Dunia Kedua dengan memerintahkan invasi ke Ukraina. Ia menyebutnya sebagai "operasi militer khusus".

Perang telah membayangi pemilihan umum yang berlangsung selama tiga hari ini (15-17 Maret). Ukraina telah berulang kali menyerang kilang minyak di Rusia, menembaki wilayah-wilayah Rusia dan berusaha menembus perbatasan Rusia dengan pasukan proksi - sebuah langkah yang menurut Putin tidak akan dibiarkan begitu saja.

Meskipun terpilihnya kembali Putin tidak diragukan lagi karena kontrolnya atas Rusia dan tidak adanya penantang yang nyata, mantan mata-mata KGB ini ingin menunjukkan bahwa ia mendapat dukungan besar dari rakyat Rusia. Jumlah pemilih secara nasional mencapai 74,22% pada pukul 18.00 GMT saat jajak pendapat ditutup. Pejabat Pemilu Rusia menyebut jumlah pemilih tersebut melampaui angka tahun 2018 yang mencapai 67,5%.

Para pendukung lawan Putin yang paling menonjol, Alexei Navalny, telah menyerukan kepada warga Rusia untuk keluar dalam protes "Siang hari melawan Putin". Gerakan ini berupaya menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap pemimpin yang mereka gambarkan sebagai otokrat yang korup.

Tidak ada penghitungan independen mengenai berapa banyak dari 114 juta pemilih Rusia yang ikut serta dalam demonstrasi oposisi, di tengah pengamanan ketat yang melibatkan puluhan ribu polisi dan petugas keamanan.

Wartawan Reuters melihat adanya peningkatan jumlah pemilih, terutama yang berusia muda, pada siang hari di tempat pemungutan suara (TPS) di Moskow, Sankt Peterburg, dan Yekaterinburg. Antrean orang-orang yang ingin memilih mencapai beberapa ratus orang bahkan ribuan.

Beberapa orang mengatakan bahwa mereka melakukan protes, meskipun hanya ada sedikit tanda yang membedakan mereka dari pemilih biasa.

Protes Para Pendukung Navalny

Saat tengah hari tiba di seluruh Asia dan Eropa, kerumunan massa yang berjumlah ratusan orang berkumpul di tempat pemungutan suara di misi-misi diplomatik Rusia. Janda Navalny, Yulia, muncul di kedutaan besar Rusia di Berlin dan disambut sorak-sorai serta nyanyian "Yulia, Yulia".

Para pendukung Navalny yang mengasingkan diri menyiarkan rekaman di YouTube tentang protes di Rusia dan luar negeri.

"Kami menunjukkan kepada diri kami sendiri, seluruh Rusia, dan seluruh dunia bahwa Putin bukanlah Rusia (dan) bahwa Putin telah merebut kekuasaan di Rusia," kata Ruslan Shaveddinov dari Yayasan Anti-Korupsi Navalny. "Kemenangan kami adalah bahwa kami, rakyat, mengalahkan rasa takut, kami mengalahkan kesendirian - banyak orang melihat bahwa mereka tidak sendirian."

Menurut OVD-Info, sebuah kelompok yang memantau tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, setidaknya 74 orang ditangkap di seluruh Rusia.

Selama dua hari sebelumnya, ada beberapa insiden protes yang terjadi ketika beberapa orang Rusia membakar bilik suara atau menuangkan pewarna hijau ke dalam kotak suara. Para penentang memposting beberapa gambar surat suara yang rusak dengan slogan-slogan yang menghina Putin.

Namun, kematian Navalny telah membuat oposisi kehilangan pemimpinnya yang paling tangguh. Sementara itu, tokoh-tokoh oposisi utama lainnya berada di luar negeri, dipenjara, atau tewas.

Ukraina dan AS Mengecam Pemilu Rusia 

Barat menganggap Putin sebagai seorang otokrat dan pembunuh. Presiden AS Joe Biden bulan lalu menjulukinya sebagai "orang gila". Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag telah mendakwa Putin atas dugaan kejahatan perang dengan menculik anak-anak Ukraina. Namun, tuduhan ini dibantah oleh Kremlin.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mengatakan bahwa Putin ingin berkuasa selamanya. "Tidak ada legitimasi dalam pemilihan yang meniru ini dan tidak akan pernah ada. Orang ini harus diadili di Den Haag. Itulah yang harus kita pastikan," ujar Zelenskiy, pada Minggu (17/3).

Putin menggambarkan perang ini sebagai bagian dari pertempuran selama berabad-abad dengan Barat yang telah mempermalukan Rusia setelah Perang Dingin dengan melanggar batas wilayah pengaruh Moskow.

"Tugas Putin sekarang adalah menanamkan pandangan dunianya yang tak terhapuskan ke dalam benak pendirian politik Rusia untuk memastikan penggantinya yang berpikiran sama," ujar Nikolas Gvosdev, Direktur Program Keamanan Nasional di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri yang berbasis di Philadelphia, kepada proyek Russia Matters.

Menurut Gvosdev, Pemilu ini menjadi peringatan bagi pemerintah AS yang berharap petualangan Putin di Ukraina akan berakhir dengan kemunduran yang menentukan bagi kepentingan Moskow. "Pemilihan ini merupakan pengingat bahwa Putin berharap akan ada lebih banyak ronde lagi di ring tinju geopolitik," ujarnya.

Pemilihan Rusia berlangsung di tengah persimpangan jalan bagi perang Ukraina dan Barat yang lebih luas. Dukungan untuk Ukraina terjerat dalam politik domestik AS menjelang pemilihan presiden pada bulan November yang kembali mempertemukan Joe Biden dengan pendahulunya, Donald Trump. Partai Republik di Kongres AS telah memblokir bantuan militer untuk Kyiv.

Meskipun Kyiv berhasil merebut kembali wilayahnya setelah invasi pada 2022, pasukan Rusia mendapatkan keuntungan setelah serangan balasan Ukraina yang gagal tahun lalu.

Pemerintahan Biden khawatir Putin dapat mengambil bagian yang lebih besar dari Ukraina kecuali jika Kyiv mendapatkan lebih banyak dukungan. Direktur CIA William Burns mengatakan bahwa hal ini dapat membuat Rusia semakin berani.

Pemungutan suara juga berlangsung di Krimea, yang direbut Moskow dari Ukraina pada tahun 2014, dan empat wilayah Ukraina lainnya yang sebagian dikontrol dan diklaim oleh Rusia sejak tahun 2022. Kyiv menganggap pemilu di wilayah yang diduduki sebagai ilegal dan tidak sah.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...