Korban Gempa Myanmar Diperkirakan Tembus 3.000 Jiwa, Mayat-mayat Menumpuk

Tia Dwitiani Komalasari
2 April 2025, 10:28
Gedung-gedung runtuh di Mandalay, Myanmar akibat gempa dengan magnitudo 7,7 melanda Myanmar pada Jumat (28/3/2025).
ANTARA/HO-Myanmar-now.org
Gedung-gedung runtuh di Mandalay, Myanmar akibat gempa dengan magnitudo 7,7 melanda Myanmar pada Jumat (28/3/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Jumlah korban tewas akibat gempa bumi terburuk yang melanda Myanmar dalam satu abad diperkirakan akan melampaui 3.000 jiwa pada Rabu (2/4), karena lembaga-lembaga kemanusiaan mendesak negara-negara lain untuk meningkatkan bantuan menjelang musim hujan.

Para korban yang trauma tidur di jalan, dengan bau mayat yang terperangkap di bawah reruntuhan  di kota-kota yang hancur di Mandalay dan Sagaing. Air, makanan, dan obat-obatan sangat terbatas, dan musim hujan dapat terjadi pada bulan Mei.

“Dampak dahsyat dari gempa bumi hari Jumat menjadi semakin jelas dari jam ke jam – ini adalah krisis di atas krisis bagi Myanmar, di mana situasi kemanusiaan sudah mengerikan,” kata Arif Noor, direktur negara Myanmar untuk the Humanitarian Care, dikutip dari The Guardian, Rabu (4/2).

“Tim penyelamat masih mengevakuasi mereka yang terjebak di bawah reruntuhan, dan rumah sakit kewalahan. Bekas luka fisik dan mental dari bencana ini akan berlangsung selama beberapa dekade,” ujarnya.

Orang-orang berdiri di dekat stasiun pemadam kebakaran yang runtuh setelah gempa bumi dahsyat, di dekat episentrumnya, di Sagaing, Myanmar. Mayat-mayat menumpuk di kuburan massal saat Myanmar bergulat dengan jumlah korban gempa.

Gempa dahsyat terjadi di Myanmar pada Jumat (28/3) adalah yang terbaru dalam serangkaian pukulan bagi negara miskin berpenduduk 53 juta jiwa itu. Sejak 2021, Myanmar telah dilanda perang saudara sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta yang telah menghancurkan ekonomi setelah satu dekade pembangunan dan demokrasi yang tentatif.

“Kita harus bertindak cepat untuk memberikan bantuan sebelum musim hujan mendatang, yang tentu saja akan memperburuk krisis yang mengerikan ini,” kata Juru bicara PBB Stephane Dujarric.

Penguasa militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengatakan jumlah korban tewas akibat gempa berkekuatan 7,7 skala Richter itu telah mencapai 2.719 hingga Selasa dan diperkirakan akan melampaui 3.000. Lebih dari 4.500 orang terluka dan 441 orang masih hilang.

"Di antara mereka yang hilang, sebagian besar diperkirakan sudah meninggal. Peluang mereka untuk tetap hidup sangat kecil," katanya dalam sebuah pidato.

Beberapa lembaga mengatakan jumlah korban tidak resmi bisa mencapai 10.000.

Badan-badan PBB mengatakan rumah sakit kewalahan dan upaya penyelamatan terhambat oleh kerusakan infrastruktur dan perang saudara.

Bantuan Sosial Dibayangi Bom

Julie Bishop, utusan khusus PBB untuk Myanmar, mendesak semua pihak untuk segera menghentikan tembakan, mengizinkan akses kemanusiaan, dan memastikan pekerja bantuan aman. "Melanjutkan operasi militer di daerah yang terkena bencana berisiko menimbulkan lebih banyak korban jiwa," katanya dalam sebuah pernyataan.

Penduduk dan perwakilan oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar yang diasingkan menuduh junta terus menjatuhkan bom setelah bencana, dan menghalangi bantuan darurat ke daerah-daerah yang berada di luar kendali pemerintah militer.

“[Pada hari Senin], lima bom dijatuhkan di sekitar desa Nwe Khwe. Meskipun tidak ada korban jiwa dari kejadian itu, masyarakat sudah trauma dengan gempa tersebut,” kata Ye Lay, 21 tahun, dari Chaung-U, sebuah kota di wilayah Sagaing yang terdampak gempa.

“Karena kerusakan akibat gempa, orang-orang tinggal di luar rumah mereka, dan ketika bom dijatuhkan, mereka harus berlindung di parit,” katanya. “Jika gempa terjadi, kami tidak bisa lari, jadi orang-orang mengalami rasa tidak aman yang mendalam.”

Amnesty International mengatakan telah menerima kesaksian yang menguatkan laporan serangan udara di dekat daerah-daerah yang menjadi fokus upaya pemulihan pascagempa.

"Anda tidak dapat meminta bantuan dengan satu tangan dan mengebom dengan tangan lainnya," kata peneliti Amnesty di Myanmar, Joe Freeman.

Aliansi Tiga Persaudaraan yang terdiri dari tiga kelompok pemberontak utama yang berperang dengan junta pada hari Selasa mengumumkan gencatan senjata sepihak selama satu bulan, untuk memungkinkan upaya kemanusiaan yang mendesak "dilaksanakan secepat dan seefektif mungkin".

Dalam buletin berita malamnya pada hari Selasa, MRTV yang dikendalikan negara mengutip Min Aung Hlaing yang mengatakan bahwa militer telah menghentikan serangannya tetapi pasukan etnis minoritas yang tidak disebutkan namanya berencana untuk mengeksploitasi bencana tersebut.

“Militer menyadari bahwa mereka sedang berkumpul, berlatih, dan bersiap untuk menyerang,” katanya, mengutip pernyataan sang jenderal dalam sebuah acara penggalangan dana untuk korban gempa: “Kami menganggapnya sebagai serangan terhadap kami dan akan menanggapinya sebagaimana mestinya.”

Junta militer telah mengumumkan masa berkabung nasional selama seminggu, dengan mengibarkan bendera setengah tiang di gedung-gedung resmi hingga 6 April “sebagai bentuk simpati atas hilangnya nyawa dan kerusakan”.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan