Cina Gandeng Uni Eropa Lawan Proteksionisme Trump


Pemerintah Cina memperluas kerja sama dengan para pemimpin Uni Eropa untuk mengatasi berbagai perbedaan di tengah tekanan ekonomi global. Hal ini juga menjadi salah satu upaya mitigasi penerapan tarif impor yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Berdasarkan laporan Xinhua yang dikutip Reuters, Rabu (7/5), Presiden Cina Xi Jinping menyampaikan komitmen perluasan kerja sama itu dalam peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Cina-Uni Eropa. Negara Tirai Bambu sangat ingin menjalin kerja sama dengan Uni Eropa sebagai upaya melawan proteksionisme dan membatasi dampak perang dagang antara Cina dan AS.
"Hubungan Cina-Uni Eropa yang sehat dan stabil tidak hanya mendorong pencapaian bersama, tetapi juga mencerahkan dunia," kata Xi.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian mengatakan Beijing akan menyambut baik kunjungan Presiden Dewan Eropa Antonio Costa dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk bersama-sama mengadakan putaran baru pertemuan para pemimpin kedua belah pihak di KTT Cina-Uni Eropa.
Selain itu, pemerintah Cina dan Parlemen Eropa juga sudah mencapai kesepakatan untuk mencabut sepenuhnya sanksi terhadap setiap anggota dan Komite Parlemen Eropa. Sanksi yang dijatuhkan oleh Cina pada 22 Maret 2021 kepada 10 individu dan 4 entitas Uni Eropa, termasuk lima Anggota Parlemen Eropa dan Subkomite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa.
Sanksi tersebut, melarang orang-orang yang terkena sanksi memasuki wilayah Cina sehingga menyebabkan Parlemen Eropa menghentikan semua dialog resmi dengan Cina.
"Dalam situasi saat ini, kedua belah pihak percaya bahwa sangat penting bagi Cina dan Eropa untuk memperkuat dialog dan kerja sama," kata Lin.
Nilai Dagang Cina-Uni Eropa
Di tengah tensi perang dagang dengan Amerika Serikat, Cina mencatatkan kinerja perdagangan yang solid dengan Uni Eropa di kuartal pertama tahun ini. Data resmi menunjukkan nilai perdagangan Cina dengan Uni Eropa mencapai 1,3 triliun Yuan atau setara US$ 178 miliar atau naik 1,4% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Berdasarkan data WTO, pada tahun 2023, Cina menjadi negara dengan nilai ekspor barang tertinggi di perdagangan global, yaitu sebesar US$ 3.380 miliar, setara dengan 14,2% total keseluruhan. Perolehan Cina tahun lalu 5% lebih rendah dibanding periode sebelumnya. Namun, negara ini tetap menunjukkan performa ekspor yang kuat, khususnya produk otomotif.
Cina juga tetap menjadi pemasok barang terbesar bagi Uni Eropa, kendati volumenya turun signifikan di sebagian besar kategori produk, kecuali kendaraan. Hal ini menyebabkan nilai perdagangan bilateral keduanya turun 15%. Di samping itu, depresiasi yuan juga diduga berkontribusi terhadap penurunan tersebut.
Dibawah Cina, Amerika Serikat menduduki peringkat kedua dengan nilai ekspor mencapai US$ 2.020 miliar. Urutan ketiga ditempati oleh Jerman dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.688 miliar. Posisi keempat jatuh ke tangan Belanda yang memperoleh nilai ekspor sebesar US$ 935 miliar. Jepang melengkapi lima besar dengan nilai ekspor sebesar US$ 717 miliar.
Sementara, mengacu data Federal pada tahun 2024, Cina menyumbang defisit perdagangan sebesar US$ 295,4 miliar terhadap AS, disusul Uni Eropa senilai US$ 235,6 miliar. Selanjutnya, Meksiko menyumbang US$ 171,8 miliar diikuti Vietnam sebesar US$ 123,5 miliar. Adapun, Indonesia juga termasuk ke dalam negara penyumbang defisit terhadap AS senilai US$ 17,9 miliar.
Nasib Mobil Listrik Cina di Uni Eropa
Uni Eropa juga akan mempertimbangkan untuk mengubah tarif atas kendaraan listrik ke harga minimum. Pada Oktober 2024, Uni Eropa menaikkan variasi tarif pada kendaraan listrik buatan Cina, contohnya tarif 17 persen untuk kendaraan buatan pabrikan BYD dan 35,3 persen tarif untuk kendaraan merek SAIC, di atas bea masuk mobil standar.
Rencana itu terjadi pasca Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif 145 persen atas barang-barang China dan 20 persen untuk barang-barang dari Uni Eropa per pada 9 April 2025, meski kemudian dihentikan sementara selama 90 hari kecuali untuk Cina.
Mobil asal Cina seperti BYD menguasai 8 persen pasar kendaraan listrik jenis Battery Electric Vehicle (BEV) pada 2023, tapi pertumbuhannya melambat sejak tarif Uni Eropa diterapkan pada 2024.