Manfaat Musik dan Suara bagi Kesehatan Tubuh
Suara dan musik melekat di kehidupan banyak orang. Keduanya menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Suara maupun musik, menurut Shierilla Pritha Eliza, bisa memberikan manfaat bagi kesehatan. Akan tetapi, tidak semua musik dan suara berefek positif terhadap tubuh manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musik dan suara memiliki arti yang berbeda. Suara mempunyai makna bunyi yang dikeluarkan mulut manusia atau bunyi binatang, alat perkakas, dan sebagainya.
Sementara itu, musik adalah suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik dapat tercipta lewat alat-alat yang menghasilkan bunyi dengan kriteria seperti di atas.
Shierilla yang juga seorang terapis suara (sound healer) mengatakan musik merupakan gabungan dari tiga hal, yakni nada, lirik, serta emosi si musikus. Ketiganya lantas menciptakan frekuensi yang membawa efek pada orang yang mendengarkan.
“Bahasa frekuensi itu sangat cepat ditangkap karena manusia punya reseptor berupa syaraf di otak tengah yang sensitif terhadap suara. Frekuensi dalam musik pun berpengaruh tidak hanya pada mood tetapi juga organ kita,” katanya.
Suara dapat digunakan untuk menyembuhkan atau menghamoniskan pikiran dan jiwa. Dalam terapi suara (sound healing), suara bisa dipakai sebagai sarana untuk memulihkan kesehatan. Alat untuk menghasilkan suara bisa bermacam-macam, termasuk singing bowl. Ia memainkan genta Tibet tersebut di Festival Cinta yang diadakan Ikigue Nuswantara, komunitas Yoga Gembira, dan Omah Petroek Sabtu (19/02) lalu.
Meski bermanfaat, Shierilla menyebutkan tidak semua musik dan suara berefek positif terhadap tubuh manusia. Hanya suara yang memiliki frekuensi yang sama atau mendekati frekuensi alamlah yang dapat menyembuhkan juga mengharmoniskan pikiran dan jiwa.
“Frekuensi alam itu adalah 432 Hz. Suara yang setara atau mendekatinya mampu membantu untuk menyembuhkan penyakit serta menenangkan hati dan jiwa. Musik yang nada dasar A-nya ada di 432 Hz yang bisa dipakai untuk mengharmoniskan, menyembuhkan. Di luar itu, akan cenderung merusak,” ujarnya.
Menurut review jurnal berjudul “Music Tuned to 440 Hz Versus 432 Hz and the Health Effect: A Double-blind Cross-over Pilot Study” yang dibuat Diletta Calamassi dan Gian Paolo Pomponi, musik dengan frekuensi 432 terbukti menurunkan tekanan darah, denyut jantung, dan laju pernapasan.
Studi tersebut dilakukan terhadap 33 relawan di Italia yang tidak menderita penyakit kronis juga akut. Mereka diminta mendengarkan soundtrack film yang telah diubah frekuensinya menjadi 440 Hz dan 432 Hz di hari yang berbeda selama 20 menit.
Data menunjukkan musik dengan frekuensi 432 Hz berkaitan dengan penurunan nilai tekanan darah rata-rata baik sistolik maupun diastolik meski tidak signifikan. Selain itu, ada penurunan nyata pada rata-rata denyut jantung dan sedikit penurunan nilai rata-rata laju pernapasan. Dalam hal ini, subjek penelitian juga lebih fokus mendengarkan musik. Mereka juga secara umum lebih puas setelah mengikuti sesi mendengarkan musik dengan frekuensi 432 Hz.
Shierilla mengatakan sebagian besar musik yang dipopulerkan dibuat dengan nada dasar A tidak di 432 Hz. Hal itu terjadi karena musik dengan frekuensi setara dengan frekuensi alam dianggap tak enak di telinga atau tidak menjual.
“Mereka menciptakan nada yang terdengar kemasannya bagus tetapi sebetulnya tidak harmonis kalau di dalam frekuensi. Jadi memang tidak semua musik harmonis terutama musik patah hati atau galau dan rock itu biasanya dia menghasilkan frekuensi yang tidak harmonis,” katanya.