Berefleksi Melalui Yoga, Joget, dan Tari Sufi
“Yah, aku enggak bisa menari loh!”
Omongan peserta tersebut terdengar Tiar JogGa sebelum mengisi acara di Festival Cinta pada Sabtu (19/02) lalu. Ia bersama Tebo Aumbara hari itu menjadi narasumber lokakarya “Sufi dan Tari sebagai Refleksi Diri”.
Usai jam makan siang, sesi keduanya baru dimulai. Sekitar pukul 14.00 para peserta memenuhi joglo Omah Petroek, Pakem, Sleman buat mendengarkan penjelasan Tiar dan Tebo.
Tiar menekankan pada peserta tak usah menutup diri karena merasa tidak bisa menari. “Di lokakarya ini saya tidak akan mengajarkan teman-teman untuk menari. Kita hanya bergerak dengan kesadaran pernapasan. Karena dalam sehari kita sudah bergerak tetapi tidak menyadarinya. Mari kita bergerak secara sadar lalu sentuh dengan estetika yang menjadi tari,” katanya.
Setelah berkata demikian, Tiar meminta peserta festival untuk berbaring di atas karpet lalu bangun ketika diberi aba-aba. Ketika bangun, mereka harus memasukkan unsur keindahan di dalamnya. Proses tersebut diulang sekali lagi. Ketika sudah bangun, para peserta lantas disuruh berjalan tanpa menabrak yang lain.
Tiar meminta mereka untuk merasakan napas dan membolehkan peserta menggerakkan tangan sesuai dengan keinginan hati. “Jika menyadari gerak dan napas yang Anda miliki, Anda akan merasakan ketenangan dalam diri anda,” ujarnya.
Sesuai dengan kata JogGa yang merupakan gabungan joget dan yoga, Tiar memadukan unsur tari dan yoga agar para peserta bergerak secara sadar. Menurutnya, joget serta yoga sama-sama memiliki konsentrasi di olah tubuh. Namun olah tubuh di yoga memasukkan elemen kelenturan, kekuatan, dan napas.
“Yoga dan tari bedanya di napas dan kesadaran untuk bergerak. Di tari selalu diajarkan untuk menghapalkan. Kita selalu memperhatikan gerakan yang indah sesuai musik tetapi terkadang tidak diajari ingat napas,” kata Tiar. Penggabungan elemen-elemen itu akan mendatangkan ketenangan diri.
Tiar mengatakan ia ingin mengajak para peserta di Festival Cinta untuk menari sebab hal itu tidak sulit jika dilakukan secara sadar. Mereka bisa menghargai hal-hal yang dapat dikerjakan badan sendiri dengan menjadi sadar. Hal ini mampu menghilangkan rasa insecure atau khawatir saat hendak menari.
Menari dengan kesadaran napas ternyata juga berlaku ketika peserta festival belajar mempraktikkan tari Sufi atau whirling dervish. Tebo Aumbara, seniman asal Bali, mengatakan tari tersebut merupakan sebuah estetika untuk mengingat Sang Pencipta dengan bergerak.
Tari sufi, katanya, sangat sederhana. Semua orang “hanya” menari dengan cara berputar. Akan tetapi, Tebo menyebut akan ada masalah yang muncul dari pikiran sendiri ketika menari. Jika hal tersebut terjadi, peserta harus berusaha agar problem tersebut tak lagi muncul.
“Ketika kita berputar sistem mekanisme otak kita tak mampu lagi menerima informasi sehingga otak mengirimkan sinyal berupa ketakutan, pusing, dan mual. Itu hal yang akan kalian hadapi. Kita harus hadirkan kembali memori dan energi ketika masih kecil. Saat semakin bertumbuh, kita berpikir orientasi dan target. Dalam pola ini, jika kita punya orientasi dan target, otak kita akan mengirinkan sinyal pusing, mual, dsb,” katanya.
Tebo menjelaskan dasar tari Sufi serupa dengan berjalan. Akan tetapi, mengangkat kaki untuk berjalan di tari ini fokus pada sebuah titik. Satu tangan dibuka ke atas untuk menerima energi murni yang kemudian dialirkan ke cakra hati untuk ditranformasikan kembali ke bumi sehingga tetap seimbang.
Peserta festival juga harus menarik napas sewaktu berputar agar tak kehilangan kontrol. Semua peserta festival kemudian menari whirling dervish. Ada yang menyerah lalu duduk istirahat. Ada yang berhasil berputar dan mengatasi rasa mual yang muncul.
Tebo mengatakan lokakarya tari sufi di atas merupakan bagian dari mengingat proses saat dilahirkan. “Kita lahir dari organ intim ibu kita itu berputar secara teratur. Kalau lihat sejarah sains, matahari dan seluruh planet juga berputar. Napas serta darah kita berputar,” ujarnya.
Banyak kebudayaan, kata Tebo, yang menciptakan simbol dengan berbagai macam nama sesuai dengan kepercayaan masing-masing dengan sumber berupa sesuatu yang berputar. Hal tersebut dapat menimbukan energi elektromagnetik.
“Tubuh kita juga mampu melakukan itu dan efeknya bisa membawa kita ke level transcendence, high consciousness terutama untuk mengingat kembali berikut merasakan energi Sang Pencipta. Whirling dervish itu dynamic meditation, proses berputar, bergerak, menari ini untuk mendekatkan diri ke Sang Pencipta,” katanya.
Tebo berharap tari Sufi yang diajarkan pada peserta Festival Cinta bisa membuat mereka berkomunikasi dengan diri sendiri. Ia ingin hal tersebut membantu peserta berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, tari ini bisa menciptakan keseimbangan mental yang berguna di masa merebaknya pandemi seperti sekarang.
“Whirling dervish menjadi salah satu tools dari sebuah kebudayaan yang muncul dari sufisme. Cinta itu bisa kita ekspresikan lewat kecintaan kita terhadap tanaman, lingkungan, dan sesama manusia. Kalau tidak ada itu, proses evolusi kehidupan akan mengalami disbalance,” katanya.