Kewajiban Pemerintah Saat Pembatasan Sosial dan Bahaya Darurat Sipil

Image title
30 Maret 2020, 19:19
PENUTUPAN AKSES JALAN DI BLITAR
ANTARA FOTO/Irfan Anshori/pras.

Presiden Joko Widodo menyatakan telah meminta kepada jajarannya untuk menyiapkan peraturan tentang pembatasan sosial berskala besar yang di dalamnya termasuk kebijakan karantina wilayah. Hal ini dilakukan menyusul semakin meluasnya pandemi Corona di Indonesia.

Data per Senin (30/3) telah terjadi penambahan pasien Corona sebanyak 129 orang. Sehingga total saat ini menjadi 1.414 kasus dengan 122 orang di antaranya meninggal dunia dan 75 orang sembuh.

“Tadi sudah saya sampaikan bahwa (pembatasan sosial) perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” kata pria yang akrab disapa Jokowi itu saat membuka rapat terbatas melalui konferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (30/3).

Dalam kesempatan sama, Jokowi menegaskan kebijakan karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.

Pada 25 Maret, Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono mengumumkan kebijakan lockdown lokal di wilayahnya mulai 30 Maret sampai 30 Juli tahun ini. Dedy mengambil kebijakan ini lantaran wilayahnya telah masuk ke dalam zona merah persebaran virus bernama resmi Covid-19.

Selain itu, dalam wawancara dengan Kompas TV, Menkopolhukam Mahfud MD kemarin (29/3) menyampaikan telah menerima surat permintaan karantina wilayah dari Pemprov DKI Jakarta. Surat tersebut tertanggal 28 Maret. DKI Jakarta adalah wilayah paling terdampak Corona di Indonesia. Data terbaru menyatakan, 698 orang positif Corona di wilayah itu dengan 48 orang sembuh dan 74 orang meninggal dunia.

Namun, Mahfud menyatakan pemerintah akan membahas teknis dan substansi karantina wilayah pada Selasa (31/3). Ia pun menyatakan pemerintah akan mengkaji terlebih dulu dampak karantina wilayah secara sosial dan ekonomi.

(Baca: Rugikan Driver, Asosiasi Ojol Dukung Jokowi Tak Terapkan Lockdown)

Landasan Hukum Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar

Landasan hukum kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar menurut ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Ferry Amsari, adalah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 1 poin 1 undang-undang itu mengatakan, “kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Definisi karantina wilayah dijelaskan dalam poin 10 sebagai, “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

Sementara definisi pembatasan sosial berskala besar teradpat pada poin 11, yakni “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

Terkait penerapan kebijakan ini, Pasal 10 ayat (4) mengatakan harus melalui pembuatan Peraturan Pemerintah (PP).  Sementara aturan penyelenggaraan karantina di wilayah termuat dalam Pasal 49 ayat (1) sampai (3).

Pasal 49 ayat (1) menyatakan, “dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Pejabat Karantina Kesehatan.”

Lalu ayat (2) menyatakan, “karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.”

Sementara ayat (3) menyatakan ketetapan karantina wilayah dilakukan oleh menteri.

Khusus pembatasan sosial berskala besar, tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) sampai (4) dan Pasal 60. Pasal 59 ayat (4) menyatakan, “penyelenggaraan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.”

Pasal 60 menegaskan, “ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Berlandaskan pasal-pasal tersebut, maka menurut Ferry pemerintah harus segera menerbitkan PP agar kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar bisa segera terlaksana dalam rangka menekan persebaran pandemi Corona.

“PP-nya harus sesuai dengan isi undang-undangnya. Tidak boleh dikurangi, terutama terkait mekanisme pelaksanaan dan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat,” kata Ferry kepada Katadata.co.id, Senin (30/3).

(Baca: Kementan Ramal Produksi Cabai Surplus Meski Ada Pandemi Corona)

Mekanisme Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Pemerintah

Mekanisme pelaksanaan karantina wilayah tertuang dalam Pasal 54 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Pertama, pemerintah wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah yang akan dikarantina sebelum pelaksanaan dimulai. Kedua, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan kepolisian yang berada di luar wilayah karantina.

Ketiga, anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Dan keempat, jika selama karantina terdapat anggota masyarakat yang terpapar wabah tergolong kedaruratan kesehatan maka wajib diisolasi di rumah sakit.

Mengenai isolasi rumah sakit, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan pada Maret 2019 adalah 1,17 per 1.000 penduduk. Artinya Indonesia hanya memiliki 1 tempat tidur di rumah sakit per 1.000 penduduknya. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan Korea Selatan yang memiliki 11 tempat tidur per 1.000 orang penduduknya. Ketersediaan tempat tidur di rumah sakit berdasarkan provinsi bisa disimak dalam Databoks di bawah ini:

 

Selama masa karantina wilayah, menurut Pasal 55 ayat (1) dan (2) pemerintah pusat bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan terkan penduduk di wilayah tersebut. Pelaksanaan tanggung jawab ini dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait.

Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) telah meminta pemerintah memastikan transportasi dan distribusi yang terkait dengan pakan dan bahan pokok jika lockdown atau karantina wilayah dilakukan. Permintaan ini dtujukan khusus kepada Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Ketua Satgas Pangan.

Terkait mekanisme pembatasan sosial berskala besar dijelaskan dalam Pasal 59 ayat (3). Bahwa kebijakan ini meliputi  peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan di tempat atau fasilitas umum.

“Walaupun enggak disebutkan, selama pembatasan sosial pemerintah tetap wajib menanggung kebutuhan warga dan makanan hewan ternak. Karena UU ini satu kesatuan. Pasal 58 juga seharusnya diperhatikan tentang pemenuhan kebutuhan orang yang di rumah sakit ditanggung pemerintah,” kata Ferry.

(Baca: Ancaman Besar Ledakan Virus Corona dari Mudik Lebaran)

Darurat Sipil Bisa Berbahaya

Wacana pemerintah menerapkan darurat sipil secara khsusus mendapat sorotan dari Ferry Amsari. Menurutnya kebijakan ini sudah memiliki landasan hukum terpisah dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Darurat sipil berlandaskan hukum Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Penetapan kondisi darurat sipil terkait Corona dalam Undang-Undang itu menurut Ferry berlandaskan Pasal 1 ayat (1) huruf (c). Bunyinya, “hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup negara.”

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan, penguasaan darurat sipil berada di bawah presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Ayat (2) pasal yang sama menyatakan, dalam melakukan penugasan keadaan darurat sipil presiden dibantu suatu badan terdiri dari: Menteri Pertama, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, KASAD, KASAL, KASAU, dan Kapolri. Dan ayat (3) menyatakan presiden bisa mengangkat pejabat lain di luar ayat (2) jika memang perlu.

Di daerah-daerah, kata Pasal 4 ayat (1), pelaksanaan darurat sipil dilakukan pemerintah daerah serendah-rendahnya pemerintah daerah tingkat II. Ayat (2) pasal ini menyatakan pemerintah daerah dibantu badang yang beranggotakan: seorang komandan militer tinggi, seorang kepala polisi daerah dan seorang pengawas/kepala kejaksaan di daerah tersebut. Penunjukan anggota badan dalam ayat (3) tertulis dipilih presiden.  

Namun, menurut Ferry, Presiden Jokowi sebagai penentu kebijakan harus menjelaskan ke publik kondisi darurat yang kini sedang berlangsung. “Presiden harus menyatakan, ini karena Corona. Corona adalah wabah yang mengancam kehidupan kita. Agar masyarakat tidak semakin panik dan jelas batasan kebijakannya,” jelas Ferry.

Batasan kebijakan tersebut, kata Ferry, meliputi masa penetapan darurat sipil dan badan yang bertanggung jawab. Ferry mengusulkan presiden membuat Perppu agar penetapan darurat militer tak menjadi politis dengan penekanan elemen pelaksana, seperti militer dan polisi, tetap berada di bawah komando presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang. Begitupula penekanan setelah kondisi kembali normal darurat militer secara otomatis dicabut.

Karena, kata Ferry, Undang-Undang Keadaan Bahaya banyak memuat pasal yang membuka peluang tindakan represif dari aparat dan pembatasan kebebasan sipil.

Undang-Undang Keadaan Bahaya memang mengandung pasal-pasal yang ketat bagi publik. Misalnya Pasal 13 yang berbunyi, “penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan,percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.”

Lalu Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi, “Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.”

Serta Pasal 19 yang menyatakan, “penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.” Pasal ini akan berlaku jika kebijakan darurat sipil benar diambil.  

“Ini agar tidak membuka peluang manuver politik dari pihak tertentu yang memanfaatkan keadaan,” kata Ferry.

  

  

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...