Sejarah Rumah Sakit Sulianti Saroso yang Jadi Rujukan Virus Corona
Pemerintah telah memastikan dua orang positif terjangkit virus corona atau Covid-19. Keduanya kini dirawat secara intensif di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso.
Sejarah RSPI Sulianti Saroso bermula dari didirikannya stasiun karantina di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Fungsi utama stasiun karantina ini adalah menampung penderita penyakit cacar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sepanjang 1964-1970, stasiun karantina ini tercatat menampung 2.358 penderita cacar.
Di lokasi yang sama, pada 17 Juni 1992, Menteri Kesehatan Dr Adhyatama meresmikan dimulainya proyek pembangunan rumah sakit infeksi. Dana pembangunan rumah sakit ini adalah berasal dari hibah murni Pemerintah Jepang (JICA) sebesar 2,45 yen atau sekitar Rp 250 miliar (kurs saat ini).
Rumah sakit inilah yang kemudian diresmikan dengan nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso diresmikan pada 21 April 1995. Tak lagi sebatas karantina cacar, fungsi rumah sakit pun diperluas.
(Baca: Panduan Mencegah Penyebaran Virus Corona di Tempat Kerja)
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso kini membuka pelayanan rawat jalan, rawat inap, rawat darurat, operasi dan ICU. Rumah sakit ini juga dimanfaatkan untuk penelitian dan pendidikan tenaga kesehatan.
Karena memiliki fasilitas yang memadai dalam penanganan infeksi, RSPI Sulianti Saroso pun menjadi rujukan dalam beberapa kasus yang menyita perhatian publik. Di antaranya, SARS, flu burung, difteri, dan saat ini, virus corona atau Covid-19.
Julie Sulianti Saroso
Nama RSPI Sulianti Saroso diambil dari nama seorang dokter perempuan, Julie Sulianti Saroso. Lahir di Karangasem, Bali pada 10 Mei 1917, Sulianti Saroso lulus dari sekolah tinggi kedokteran (GHS) di Batavia (Jakarta) pada 1942.
Ia kemudian pendidikannya di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat dan Malaya pada 1950-1951 hingga mendapatkan Certificate of Public Health Administrasion dari Universitas London. Pada 1962, ia memperoleh gelar Master of Public Health dengan spesialisasi Tropical Medicine.
Tiga tahun kemudian, ia memperoleh gelar Doctor of Public Health (Epidemiologi) setelah mempertahankan disertasi yang berjudul The Natural History of Enteropathogenic Escherechia Coli Infections di Tulane Medical School, New Orleans, Lousiana, Amerika Serikat.
(Baca: Cegah Kepanikan, Pengusaha Minta Pemerintah Jujur Soal Virus Corona)
Setelah tamat dari sekolah kedokteran tahun 1942, Sulianti Saroso sempat bekerja di bagian Penyakit Dalam CBZ, Jakarta. Setelah kemerdekaan RI, ia melanjutkan kariernya di RS Bethesda, Yogyakarta.
Selama masa perjuangan kemerdekaan (1946-1949), Julie mengusahakan obat-obatan dan makanan di kantong-kantong gerilya daerah Tambun, Gresik, Demak, dan Yogyakarta. Atas usahanya itu, ia sempat ditawan selama dua bulan oleh tantara Belanda di Yogyakarta
Tahun 1951, ia memulai kariernya di Kementerian Kesehatan. Di situ ia menjabat berbagai posisi yaitu Kepala bagian Kesejahteraan Ibu dan Anak, Kepala Hubungan Luar Negeri, Wakil Kepala Bagian Pendidikan, Kepala Bagian Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat, dan Kepala Planning Board.
Pada 1967, ia diangkat menjadi Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) dan merangkap Ketua Research Kesehatan Nasional (LRKN) Departemen Kesehatan.
Kemudian, pada 1969, ia dikukuhkan sebagai Profesor pada Universitas Airlangga Surabaya dengan pidato pengukuhan berjudul "Pendekatan Epidemiologis dalam Menanggulangi Penyakit".
(Baca: Kasus Baru Virus Corona di Tiongkok Turun, Terendah Sejak Januari)
Pada 1975, ia diangkat menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Pada rezim Orde Baru, Julie juga pernah menjabat Ketua Gugus Tugas Penyusunan Rencana Lima tahun PELITA II sektor Kesehatan.
Kemampuannya di bidang kesehatan juga mendapat pengakuan di dalam dan luar negeri. Di antaranya, ia mendapat penghargaan dari WHO dalam membasmi penyakit cacar. Sulianti Saroso meninggal dunia pada 29 April 1991.