Perkuat Patroli di Natuna, Pemerintah Bangun Empat Kapal Baru
Pemerintah berencana membangun empat kapal baru untuk memperkuat patroli di wilayah perbatasan, khususnya Laut Natuna Utara. Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono mengatakan dua kapal akan berjenis fregat dan dua lainnya adalah offshore patrol vessel.
Kapal tersebut akan menghalau tamu tak diundang yang mencoba masuk lewat Natuna. Sejak pekan lalu, kapal-kapal Tiongkok telah melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Mereka bahkan menangkap ikan secara ilegal di wilayah tersebut.
Trenggono juga mengatakan empat kapal itu akan diproduksi dalam negeri. “Kami akan bikin, ada dua jenis,” kata Trenggono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/1).
(Baca: Tiongkok Masuk Laut Natuna, Jokowi: Tak Ada Tawar-menawar Kedaulatan)
Tak hanya itu, pemerintah akan membuat alat deteksi serangan pesawat tanpa awak (drone) untuk mengantisipasi ancaman lewat udara. Alat ini digunakan Amerika Serikat untuk membunuh pemimpin Pasukan Garda Revolusioner Iran Qassem Soleimani.
Trenggono mengatakan alat deteksi serangan drone itu akan dibuat bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dia memprediksi alat tersebut paling cepat akan dibuat tahun 2021. “1-1,5 tahun lagi lah kita bisa (membuat alat deteksi serangan drone),” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan Indonesia tak akan bernegosiasi dengan Tiongkok mengenai masalah di Laut Natuna Utara. Dia menganggap Beijing telah melanggar hukum lantaran masuk tanpa izin ke Natuna Utara yang merupakan wilayah RI.
Hal ini sesuai dengan ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982. Karena itu pemerintah akan terus mengusir kapal yang masih berlayar dan menangkap ikan di Laut Natuna Utara.
“(Laut Natuna Utara) itu daerah kedaulatan kita dan kedaulatan itu harus dijaga oleh kita bersama sebagai bangsa,” kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Senin (6/1).
(Baca: Mahfud Tegaskan Tak Ada Negosiasi dengan Tiongkok Soal Natuna)
Kementerian Luar Negeri telah melayangkan protes terhadap pemerintah Tiongkok. Namun, Tiongkok menolak dengan alasan nelayan mereka telah lama melaut di wilayah yang dekat dengan Kepulauan Spratly itu.
“Tiongkok memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha (Spratly) dan memiliki hak yuridiksi atas perairan itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, dalam jumpa pers di Beijing pada Selasa (31/12) lalu.