Lifting Migas Pertamina Belum Capai Target, Blok Mahakam yang Terendah
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat produksi siap jual (lifting) migas Pertamina hingga September 2019 di bawah target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Capaian lifting migas Blok Mahakam tercatat paling rendah.
Untuk sembilan bulan pertama 2019, lifting minyak Pertamina EP (PEP) hanya mencapai 80.853 barel per hari (BOPD) atau 95,1% dari target 85 ribu BOPD. Capaian lifting minyak Pertamina Hulu pertamina (PHM) lebih rendah lagi, hanya 72,3% dari target 50.400 BOPD atau sebesar 36.415 BOPD.
Lifting minyak Pertamina Hulu Energi (PHE) Oses hingga September 2019 sebesar 28.414 BOPD atau 88,8% dari target 32 ribu BOPD. Sedangkan PHE ONWJ Ltd mencatat lifting minyak sebesar 28.741 BOPD atau 86,9% dari target 33.090 BOPD. Terakhir, Pertamina Hulu Kalimantan mencatat lifting minyak hingga September sebesar 10.985 BOPD atau 97,7% dari 11.248 BOPD.
Kinerja lifting gas Pertamina juga kurang memuaskan. Lifting gas PHM hanya mencapai 650 MMSCFD atau 59,1% dari target 1.100 MMSCFD. Sedangkan lifting gas PEP mencapai 93,2% dari target 810 MMSCFD atau sebesar 833 MMSCFD.
Ditanya mengenai capaian lifting migas, Direktur Hulu Pertamina tidak menjawab pesan singkat yang dikirimkan Katadata.co.id pada Senin (28/10). Begitu juga dengan Vice Presiden Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman.
(Baca: SKK Migas Tantang Pertamina dan Medco Temukan Migas Seperti Repsol)
Secara keseluruhan, SKK Migas mencatat realisasi lifting migas hingga September 2019 sebesar 1,8 juta barel setara minyak per hari (boepd). Capain tersebut hanya 89 persen dari target APBN tahun ini sebesar 2 juta boepd.
Rinciannya, lifting minyak sebesar 745 ribu barel per hari (bopd) dan lifting gas 1,05 juta boepd. Sebesar 84 persen total lifting migas merupakan kontribusi dari sepuluh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama, diantaranya ExxonMobil, Chevron, Pertamina, BP, ConocoPhillips, Medco Energi, Eni, dan Petrochina.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan salah satu faktor yang membuat lifting migas tak tercapai karena harga gas yang rendah. Sehingga pihaknya memutuskan menyimpan gas dibanding menjualnya ke pasar.
Hal tersebut berdampak pada pengurangan produksi, terutama di Kilang LNG Bontang, Tangguh, dan Donggi Sonoro. "Karena harga rendah, maka kami kurangi. Tantangan ini, apakah harga rendah kami jual saja atau simpan dulu," kata Dwi dalam konferensi pers capaian kinerja hulu migas kuartal tiga di kantor SKK Migas, Kamis (23/10)
Deputi Keuangan dan Monetasi Arief Setiawan Handoko menambahkan realisasi lifting gas tidak mencapai target karena ada pembatalan pembelian dan penundaan penjualan LNG. "Harga LNG drop terus sampai US$ 4 per mmbtu, kami tidak mungkin menjual karena beda kontrak dengan pembeli," ujar Arif.
(Baca: SKK Migas Desak Pertamina dan Chevron Sepakati Transisi Blok Rokan)
Selain harga gas, kebakaran hutan dan lahan di Sumatera membuat produksi Blok Rokan terhenti. Padahal Blok Rokan menjadi penyumbang lifting minyak kedua terbesar saat ini. Ditambah lagi dengan bocornya sumur YYA-1 di Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dioperatori oleh Pertamina Hulu Energi (PHE).
"Kejadian ONWJ seharusnya ada tambahan produksi dan lifing migas, tapi tidak jadi,"ujar Dwi.
Selain itu, SKK Migas juga mencatat produksi minyak per akhir September 2019 mencapai 750,5 ribu barel per hari (BOPD). Sedangkan produksi gas bumi hingga kuartal tiga 2019 mencapai 1,285 juta BOEPD atau setara 7.470 MMSCFD.
(Baca: Ada 70 Basin, IPA Sebut Indonesia Minim Eksplorasi Migas)