Kartika Wirjoatmodjo, Bankir yang Ditunjuk Jadi Wakil Menteri BUMN
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo terlihat mendatangi Istana Kepresidenan, Jakarta pada Jumat (25/10). Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam seperti yang dikenakan para calon menteri ketika dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi), Selasa (22/10) lalu.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, ia telah mengajukan nama Kartika sebagai salah satu dari empat nama calon wakil menteri yang diajukannya ke presiden. Pengalaman Tiko --sapaan akrab Kartika Wirjoatmodjo-- sebagai bankir dinilai menjadi faktor kuat yang mendukung perannya nanti di Kementerian BUMN.
Tiko lahir di Surabaya, 18 Juli 1973. Sarjana akuntansi dan keuangan dari Universitas Indonesia (UI) ini memiliki karier yang cemerlang di sektor keuangan. Ia menapaki kariernya sebagai konsultan pajak dan akuntan di RSM AAJ pada 1995-1996. Ia juga pernah menjadi konsultan senior di Price Waterhouse Coopers (PwC) Financial Services lalu menjadi konsultan di Boston Consulting Group (BCG), perusahaan global yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS).
Pria yang menuntaskan pendidikan pascasarjananya di Rotterdam School of Management, Erasmus University, Belanda ini dipercaya menjadi Grup Head Strategy di Bank Mandiri pada 2003-2008. Kemudian, ia dipromosikan menjadi Managing Director PT Mandiri Sekuritas pada 2008-2011. Selepas dari Mandiri Sekuritas, Tiko ditugaskan menjadi direktur utama Indonesia Infrastructure Finance (IIF) hingga 2014.
(Baca: 12 Calon Wamen Datang ke Istana, Ada Dirut Inalum & Angela Hari Tanoe)
Menuntaskan Divestasi Bank Mutiara
Sebelum diangkat menjadi direktur utama Bank Mandiri, Tiko memegang jabatan sebagai Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) periode 2014-2015. Di bawah kepemimpinannya, LPS berhasil menjual 99% saham PT Bank Mutiara kepada investor asal Jepang, J Trust Co. Ltd pada November 2014. Nilai penjualan Bank Mutiara sebesar Rp 4,41 triliun atau setara 3,5 kali price to book value (PBV) bank tersebut.
Proses penjualan saham Bank Mutiara (dahulu Bank Century) sempat dilakukan beberapa kali namun gagal menjaring pembeli, yakni pada 2011, 2012, dan 2013. Pada waktu itu, divestasi Bank Mutiara bisa dilakukan jika investor menawar dengan harga minimal Rp 6,7 triliun. Angka tersebut sesuai dengan nilai modal yang telah disuntikkan pemerintah ke Bank Mutiara.
Berdasarkan Undang-Undang LPS, Bank Mutiara bisa didivestasi dengan harga berapapun setelah 2013. Penawaran terakhir inilah yang akhirnya mampu menarik investor untuk mengakuisisi Bank Mutiara.
(Baca: Erick Thohir Ingin Dirut Bank Mandiri Jadi Wakil Menteri BUMN)
Jadi Bos Bank Terbesar di Indonesia
Setelah memimpin LPS, Tiko kembali ke Bank Mandiri sebagai direktur keuangan dan strategi pada 2015. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) Bank Mandiri Maret 2016, Menteri BUMN Rini Soemarno menunjuk Tiko untuk menggantikan Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang habis masa jabatannya.
Ia menjadi direktur utama (dirut) Bank Mandiri di usia 43 tahun, yang termuda di antara dirut BUMN lainnya. Memimpin bank terbesar di Indonesia bukan hal yang mudah. Di bawah kepemimpinannya, Bank Mandiri berhasil menurunkan rasio kredit bermasalah (non-performing loan) bruto dari 4% pada akhir 2016 menjadi 2,6% per Juni 2016.
Ia juga mendorong pembentukan Mandiri Capital Indonesia (MCI), anak usaha Bank Mandiri yang bergerak di bidang modal ventura. Mandiri Capital aktif berinvestasi pada perusahaan-perusahaan rintisan (startup), antara lain Amartha, Cashlez, Moka, PrivyID, dan LinkAja.
(Baca: Daftar Lengkap Wakil Menteri, Erick Thohir Dapat Jatah Dua Orang)