Meski Menuai Polemik, MPR Tetap Rekomendasikan Amendemen UUD 1945
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hassan merekomendasikan perubahan terbatas Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 kepada penerusnya, yang menjabat periode 2019-2024. Hal itu ia sampaikan dalam pembukaan Sidang Tahunan MPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (16/8).
Ia menyampaikan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional dengan menerapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui perubahan terbatas UUD 1945 diperlukan saat ini. "Salah satu rekomendasi yang telah mendapatkan kesepakatan bersama adalah perlunya sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN," kata dia saat membacakan pidato tahunan di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Jum'at, (16/8).
Zulkifli menjelaskan, rekomendasi itu sudah melalui serangkaian diskusi dan penyerapan aspirasi masyarakat dengan berbagai kalangan, termasuk para pakar/akademisi dan tokoh masyarakat. Dari hasil diskusi itu, MPR periode ini merekomendasikan perubahan terbatas UUD 1945 untuk ditindaklanjuti oleh pejabat berikutnya.
Dalam pidatonya, Zulkifli mengungkapkan alasan MPR melakukan kajian amendemen terbatas tersebut. Indonesia merupakan negara besar dan luas, menurutnya butuh haluan sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Ia juga mengungkapkan, amendemen terbatas model GBHN nantinya berbasis kedaulatan rakyat dan disertai landasan hukum yang kuat. "Haluan itu menjadi peta jalan bagi seluruh komponen bangsa termasuk lembaga negara untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasonal sebagaimana dimanfaatan dalam pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945," katanya.
(Baca: Panasnya Wacana Amendemen UUD 1945 dan Kembalinya GBHN)
Keputusan ini, kata Zulkifli, diputuskan sebagai bentuk amanat yang diberikan rakyat kepada MPR terkait penataan sistem ketatanegaraan. Wacana ini juga telah dikaji MPR melalui Badan Pengkajian MPR dan Lembaga Pengkajian MPR.
Langkah MPR ini sebelumnya menuai polemik dari beberapa pihak, terutama pakar hukum tata negara dan beberapa politisi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyarankan agar amendemen UUD 1945 dilakukan saat kondisi partai politik oposisi kuat.
PKS menilai, kondisi oposisi saat ini lsemah. Ia khawatir, perubahan terbatas UUD 1945 ini memungkinkan salah satu pihak memasukkan agenda gelapnya melalui mekanisme pemungutan suara (voting).
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera mengatakan oposisi harus kuat agar ide-ide yang bertentangan dengan semangat reformasi tidak diakomodasi dalam perubahan dasar negara. Ia khawatir MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
"Kalau mau amendemen didampingi oposisi kuat dengan (perbandingan suara pemerintah dan oposisi) 60%:40% bagus, 55%:45% lebih bagus," kata Mardani kepada Katadata.co.id, Rabu (15/8) lalu.
Begitu juga dengan Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Jentera, Bivitri Savitri. Ia menolak amendemen UUD 1945. Sebab, perubahan konstitusi sejatinya berasal dari permintaan masyarakat yang resah dengan keadaan.
Ia mencontohkan keadaan politik 1998 membuat rakyat meminta adanya amendemen UUD dan terlaksana setahun setelahnya. "Ini amendemen untuk kepentingan rakyat atau untuk kepentingan segelintir orang?," kata Bivitri, beberapa waktu lalu (14/8).
Ia mencontohkan, amendemen UUD 1945 yang sebelumnya dilakukan atas dorongan gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat pada 1998. Amendemen juga harus memberikan implikasi konkret bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya menghidupkan kembali GBHN.
(Baca: Adu Kuat Partai Koalisi Jokowi Berebut Kursi Ketua MPR)