MK Minta Putusan Sengketa Pilpres Tak Dijadikan Ajang Hujat dan Fitnah
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman meminta agar putusan dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 tidak dijadikan sebagai alat menyebar kebencian. Menurut Anwar, putusan dari MK ini harus bisa diterima semua pihak dengan lapang dada.
"Jangan dijadikan ajang untuk saling hujat dan memfitnah," kata Anwar ketika memulai persidangan di gedung MK, Jakarta, Kamis (27/6).
Anwar menyadari jika putusan yang akan dibacakan majelis hakim MK tidak akan memuaskan semua pihak. Hanya saja, Anwar menyebut pihaknya telah berijtihad dan berusaha mengambil putusan yang adil dalam perkara PHPU.
Menurut Anwar, putusan MK telah didasari dengan fakta yang terungkap dan terbukti di persidangan. "Kami akan mempertanggungjawabkan putusan ini kepada Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa sesuai amanah dalam surat An-Nisa ayat 58 dan 135, surat Al-Maidah ayat 8," kata Anwar.
(Baca: Alasan Mahkamah Agung Tolak Permohonan Tim Prabowo soal Pilpres)
Lebih lanjut, Anwar menyampaikan bahwa tidak ada yang bisa mengintervensi majelis hakim MK ketika memutuskan perkara yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebab, Anwar menilai pihaknya tidak tidak takut kepada siapapun saat membuat putusan.
"Seperti yang kami sampaikan pada sidang pertama bahwa kami hanya takut pada Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa," kata Anwar.
Perjalanan Sidang Putusan MK Perkara Pilpres
Untuk diketahui, putusan MK terkait PHPU Presiden dan Wakil Presiden mulai dibacakan pada Kamis (27/6) pukul 12.30 WIB. Sidang putusan digelar setelah majelis hakim MK menyelesaikan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Untuk diketahui, persidangan PHPU di MK telah berlangsung sejak Jumat (14/6). Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga di awal masa sidang telah membacakan dalil dan petitum permohonannya.
(Baca: Jelang Sidang Putusan Gugatan Pilpres di MK, Rupiah Cenderung Menguat)
Ada 15 petitum yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga. Salah satunya, yakni meminta majelis hakim MK membatalkan penetapan hasil Pemilu 2019.
Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga juga meminta majelis hakim MK menyatakan perolehan suara Prabowo-Subianto sebesar 68.650.239 atau 52%. Sementara pesaingnya, Joko Widodo-Ma'ruf hanya memperoleh suara sebesar 63.573.169 atau 48%.
Petitum lainnya meminta MK menyatakan bahwa Jokowi-Ma'ruf terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pilpres 2019 melalui penggelembungan dan pencurian suara secara terstruktur, sistematis, dan masif. Ada pula petitum yang meminta MK memerintahkan KPU melaksanakan pemungutan suara ulang di sebagian provinsi.
Tim Kuasa Hukum KPU dan Jokowi-Ma’ruf dalam tanggapannya meminta agar majelis hakim MK menolak seluruh petitum permohonan Prabowo-Sandiaga. Mereka beranggapan bahwa dalil-dalil permohonan yang diajukan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga tidak jelas dan kabur.
(Baca: Jelang Putusan MK, Moeldoko: 30 Orang Terduga Teroris Masuk Jakarta )
Ada pun, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandiaga sebelumnya menghadirkan 14 saksi dan dua ahli. Saksi yang dihadirkan, antara lain Agus Maksum, Idham, Hermansyah, Listiani, Nur Latifah, Rahmadsyah, Fakhrida, Tri Susanti, Dimas Yehamura, Beti Kristiani, Tri Hartanto, Risda Mardiana, Said Didu, dan Hairul Anas. Ada pun, ahli yang dihadirkan dalam persidangan, yakni Jaswar Koto dan Soegianto Sulistiono.
KPU tidak menghadirkan saksi dalam persidangan. Mereka hanya menghadirkan seorang ahli dalam persidangan, yakni Marsudi Wahyu Kisworo. Marsudi diketahui merupakan Guru Besar Ilmu Komputer ITB. Dia juga merupakan Komisaris Independen PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom).
Lebih lanjut, KPU menghadirkan keterangan tertulis dari ahli lainnya, yakni W Riawan Tjandra. Riawan diketahui merupakan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf menghadirkan dua saksi dan dua ahli saat persidangan. Dua saksi yang dihadirkan, yakni Anas Nashikin dan Candra Irawan.
(Baca: Jelang Putusan MK, Ratusan Orang Gelar Aksi di Patung Kuda Jakarta)
Anas merupakan Panitia Pelaksana Training TOT bagi seluruh saksi Jokowi-Ma’ruf di seluruh Indonesia. Sementara, Candra merupakan saksi Jokowi-Ma’ruf ketika melakukan rekapitulasi tingkat nasional di gedung KPU, Jakarta.
Dua ahli yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma'ruf adalah Edward Omar Syarief Hiariej dan Heru Widodo. Edward diketahui sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, sedangkan Heru merupakan Dosen Ilmu Hukum UIA.