Ini Profil 9 Hakim MK yang Akan Memutuskan Gugatan Pilpres Prabowo
Sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dengan perkara Pilpres di Mahkamah Konstitusi akan digelar Jumat (14/6). Kubu calon presiden dan calon wakil presiden 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menjadi pihak pemohon dalam sidang tersebut. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan termohon dan capres 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pihak terkait.
Sidang sengketa PHPU ini memiliki sejumlah tahapan. Sidang 14 Juni 2019 merupakan sidang pemeriksaan pendahuluan dan penyerahan perbaikan jawaban dan keterangan. Pada 17-24 Juni 2019 merupakan tahap pemeriksaan persidangan. Tahap selanjutnya, rapat permusyawaratan hakim pada 25-27 Juni 2019. Sidang pengucapan keputusan akan dilaksanakan pada 28 Juni 2019. Setelah itu, pada 28 Juni-2 Juli akan diserahkan salinan putusan dan pemuatan laman.
Putusan perkara perselisihan sengketa Pilpres 2019 akan berada di tangan sembilan hakim konstitusi. Juru Bicara MK Fajar Laksono menyebutkan, hakim konstitusi memutus perkara sengketa berdasarkan tiga hal, yaitu fakta yang terungkap di persidangan, alat bukti, dan keyakinan hakim.
Siapa saja sembilan hakim konstitusi tersebut? Berikut ini profil singkat dari para hakim konstitusi.
1. Dr Anwar Usman, S.H., M.H.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2 April 2018-2 Oktober 2020 ini mengawali kariernya sebagai guru honorer hingga enam tahun lamanya. SD Kalibaru menjadi persinggahan terakhirnya sebagai pendidik. Meskipun tidak pernah terbayang untuk menjadi hakim konstitusi, ia memberanikan diri banting setir untuk melanjutkan studi S1-nya di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta.
Pria berkelahiran Bima, 31 Desember 1956 itu melanjutkan pilihannya sebagai sarjana hukum dengan mendaftar sebagai calon hakim. Pada 1985 ia lulus tes dan diangkat menjadi calon hakim Pengadilan Negeri Bogor. Anwar juga melanjutkan pendidikannya di Program Studi Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta pada 2001 dan Program Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2010.
Sosok yang mencintai teater ini memiliki segudang prestasi di dunia peradilan. Ia pernah menjabat sebagai Asisten Hakim Agung di Mahkamah Agung pada 1997-2003. Selanjutnya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung pada 2003-2006. Kemudian Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian.
2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM
Aswanto juga mengabdikan diri selama bertahun-tahun sebagai pendidik. Ia merupakan Guru Besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin dan menjadi dosen untuk mahasiswa S1 hingga S3. Kiprahnya sebagai hakim tidak selalu berjalan mulus. Selain latar belakangnya sebagai pendidik, Aswanto juga harus banting setir mempelajari kembali seluk-beluk dunia hukum tata negara dan hukum administrasi negara karena sebelumnya ia adalah ahli hukum pidana.
Selain itu, latar belakang pendidikan Aswanto juga tidak sejalan satu sama lain. Aswanto meraih gelar sarjana hukum pidana dari Universitas Hasanuddin. Pendidikan selanjutnya ia tempuh di UGM dengan program pascasarjana Ilmu Ketahanan sedangkan gelar doktor diperolehnya dari Fakultas Ilmu Hukum Universitas Airlangga dengan disertasi yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Saat mencalonkan menjadi hakim konstitusi, ada surat kaleng yang menolak pencalonan Aswanto. Ia mengklarifikasi tulisan ini dengan mengucap sumpah. Pria kelahiran Palopo ini juga memberikan tanggapan mengenai latarnya sebagai ahli hukum pidana. Disertasinya tentang HAM berkaitan dengan konstitusi, ia juga memiliki nilai tambah dari pengalamannya sebagai ketua Panwas.
“Orang mengatakan MK lebih kepada persoalan ketatanegaraan, tapi kan tidak melulu selalu berkaitan dengan hukum administrasi negara dan hukum tata negara," kata Aswanto, seperti dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, persoalan ketatanegaraan mencakup seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
(Baca: Pengamat Yakin MK Bakal Netral dalam Sidang Gugatan Prabowo-Sandiaga)
3. Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
Arief yang lahir di Semarang, 3 Februari 1956 ini juga memiliki latar belakang di dunia pendidikan. Ia merupakan Guru Besar Universitas Diponegoro pada 2008. Arief juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Undip.
Kaderisasi merupakan caranya untuk menularkan virus-virus penegakan hukum kepada anak didiknya. Hal ini juga diterapkan Arief saat menjadi anggota Tim Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta anggota Tim Penilai Angka Kredit Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Pilihannya menjadi hakim konstitusi didukung oleh berbagai pihak, termasuk akademisi di Fakultas Hukum Undip, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra, dan pusat studi konstitusi dari berbagai perguruan tinggi. Ia mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR dan mengusung makalah bertajuk “Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945”. Arief pun menang dengan dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR.
Kapabilitas Arief tidak perlu diragukan karena sejak lama ia telah berkiprah di bidang hukum, khususnya hukum tata negara. Ia pernah menjadi Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, dan Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.
4. Dr. Wahiduddin Adams, S.H, M.A
Wahiduddin mengawali kariernya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selayaknya hakim konstitusi sebelumnya, Wahid berencana untuk menghabiskan masa purnabaktinya dengan menjadi dosen, bahkan SK PNS-nya telah dipindahkan menjadi pendidik di UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Syariah dan Hukum. Namun, ia terpanggil untuk mengabdi lebih jauh dibidang hukum saat DPR membuka kesempatan untuk menjadi hakim konstitusi.
Pengalamannya yang pernah menjabat sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan mengantarkannya meraih kursi hakim konstitusi. Menteri Hukum dan HAM kerap membawa Wahid untuk memberikan otoritas kepadanya sebagai wapres pada sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Wahid juga pernah menjadi pemohon mewakili Kementerian Hukum dan HAM dalam sengketa kewenangan lembaga negara antara Presiden dengan DPR dan BPK.
Sedari kecil Wahid dikenal dengan sosok yang religius dan sederhana. Orang tuanya mengarahkan untuk menempuh pendidikan di madrasah Tsanawiyah hingga Aliyah di Salatiga. Ia melanjutkan pendidikannya di S1 Peradilan Islam, Fakultas Syariah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1979 dan De Postdoctorale Cursus Wetgevingsleer di Leiden, Belanda (1987). Selanjutnya Wahid melanjutkan program magister dan doktor di Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dari 1991-2002. Terakhir, ia menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah untuk jenjang S1 pada 2005.
(Baca: Wiranto dan Tito Apresiasi Prabowo yang Cegah Pendukung ke MK)