Aksi Boikot Bayar Pajak Kubu Prabowo Dinilai Langgar Hukum Pidana
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengajak pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk boikot membayar pajak lantaran tak mengakui pemerintahan hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai tindakan tersebut memiliki konsekuensi hukum pidana.
"Sebagian pelanggaran tersebut bahkan memiliki konsekuensi hukum, termasuk pidana," kata Prastowo, Kamis (16/5).
Ajakan boikot pajak membawa konsekuensi hukum karena tidak membayar pajak merupakan bentuk pelanggaran Undang-undang Perpajakan. Pelanggaran ini akan melekat secara individual bagi tiap wajib pajak.
(Baca: Prabowo Tolak Hasil Pilpres, Ketua DPR: Akan Berdampak pada Pileg)
Ia menambahkan, boikot pajak tidak saja buruk secara moral, tetapi juga merugikan kepentingan nasional. Sebab sebagian besar rakyat selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lainnya. Selain itu, penerimaan pajak juga digunakan untuk belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, birokrasi, dan lainnya.
"Dengan kata lain, ajakan memboikot pajak adalah ajakan memperburuk keadaan yang merugikan rakyat Indonesia," kata Prastowo.
Prastowo mengutip literatur yang menyatakan tidak membayar pajak hanya diakui secara moral jika pemerintah melakukan korupsi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), otoriter, dan tidak akuntabel. Namun, kondisi tersebut tidak terdapat pada rezim pemerintahan setelah Orde Baru.
(Baca: Serukan Perdamaian, Tokoh Muda Minta Prabowo Ikuti Proses yang Sah)
Di sisi lain, kepatuhan pajak di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Sebab, masih banyak orang yang seharusnya membayar pajak, namun tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Ini juga diiringi dengan tingkat penghindaran pajak yang masih tinggi.
"Dalam situasi seperti ini, ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang enggan membayar pajak," kata dia.
Prastowo menilai boikot pajak melebihi ajakan makar. Sebab, ajakan tersebut dapat mengeroposkan pondasi negara dan menghancurkan modal sosial yang penting untuk keberlanjutan pembangunan.
Prastowo berharap ajakan tersebut tidak ditanggapi dan dianggap lelucon saja oleh masyarakat. "Selain tidak mendidik dan tak memiliki legitimasi moral, juga destruktif terhadap upaya pencapaian tujuan bernegara," kata Pras.
Dia menyarankan bila kubu Prabowo tak menyetujui hasil penetapan pemenang Pemilihan Presiden 2019, dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, klaim kecurangan pemilu hanya mendelegitimasi institusi formal kenegaraan. "Dan tak lebih dari ratapan kegalauan kontestan yang tak siap kalah," katanya.