Bappenas: Proses Pemindahan Ibu Kota Butuh Waktu 5-10 Tahun
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengungkapkan proses pemindahan ibu kota membutuhkan waktu 5-10 tahun. "Pokoknya begitu ada keputusan presiden ya jalan. Paling cepat pada 2020," kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dalam diskusi di Jakarta, Selasa (30/4).
Bappenas memiliki dua skema pendanaan untuk pemindahan ibu kota itu. Skema pertama untuk pemindahan yakni dengan total anggaran Rp 466 triliun. Skema kedua membutuhkan biaya Rp 323 triliun. "Bedanya skema satu dan dua itu pada jumlah aparatur sipil negara," ujarnya.
(Baca: Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Era Soekarno hingga Jokowi)
Skema pertama, kebutuhan lahannya mencapai 40 ribu hektare. Jumlah penduduk yang bermigrasi ke ibu kota yang baru mencapai 1,5 juta jiwa, terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri.
Untuk skenario kedua, luas lahannya lebih kecil, yaitu 30 ribu hektare. Jumlah orang yang bermigrasi 870 jiwa, terdiri instansi pemerintah yang sama dengan skenario pertama.
Porsi pendanaan proyek itu tidak akan 100% mengandalkan APBN. Pemerintah akan melibatkan BUMN, swasta, maupun Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU).
(Baca: Rencana Belum Matang, Menkeu Belum Hitung Anggaran Pindah Ibu Kota)
“Di awal kami masih melihat porsi pendanaan pemerintah itu 50%,” kata Bambang. Porsi ini masih bisa dikurangi lagi dengan manajemen aset gedung-gedung pemerintah di Jakarta yang ditinggalkan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sampai saat ini, ia mengatakan, salah satu kriteria calon wilayah ibu kota yang baru adalah memiliki risiko bencana alam yang minim. Tiga wilayah yang memenuhi kriteria itu adalah Sumatera bagian timur, Kalimantan, dan Sulawesi bagian selatan.
Dari kajian terakhir, pemerintah baru pada keputusan untuk memindahkan ibu kota. “Kami belum bahas wilayahnya,” katanya.
(Baca: Macet dan Banjir, Alasan Jokowi Akan Pindahkan Ibu Kota dari Jakarta)
Jakarta seperti New York
Latar belakang keputusan pemindahan ibu kota adalah beban kepadatan penduduk yang dipikul Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Hal ini menyebabkan ketimpangan antara kemampuan sistem transportasi untuk memenuhi permintaan konektivitas seluruh penduduk di Jakarta dan semua kota penyangganya.
"Luas jalan hanya 6,2 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Idealnya, kalau ingin tidak terlalu macet butuh 15 persen terhadap luas wilayah," ujar Bambang.
Selain itu, padatnya aktivitas di Jakarta juga menimbulkan dampak negatif ke lingkungan. Misalnya, Jakarta kerap dilanda banjir saat musim hujan karena tinggi permukaan tanah yang terus menurun dari permukaan air laut.
(Baca: Anies: Pembangunan Jakarta Tetap Berlangsung Meski Ibu Kota Pindah)
Namun pemindahan ibu kota ini, kata Bambang, hanya lingkup kegiatan pusat pemerintahan dan bisnis yang mendukung pemerintahan. Sehingga jika terealisasi, kementerian/lembaga negara akan pindah ke ibu kota baru itu.
Sedangkan lembaga negara yang menjadi pusat kegiatan keuangan dan bisnis seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, ataupun Bursa Efek Indonesia direncanakan tetap di Jakarta.
"Kita tidak desain ibu kota baru itu menjadi pesaing Jakarta. Contoh Washington DC apakah untuk menyaingi New York tidak?" ujar dia.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hal serupa. Rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari DKI Jakarta ke luar Pulau Jawa mengikuti model kota-kota di Amerika Serikat. Pemerintahan Paman Sam itu memindahkan ibu kota pemerintahannya dari New York ke Washington DC.
"Washington yang jadi ibu kota lebih kecil, New York yang menjadi kota dagang dan kota bisnis," kata JK kepada wartawan di Istana Wakil Presiden, Jakarta, siang tadi.
(Baca: Rencana Pindah Ibu Kota, Jusuf Kalla Impikan Jakarta Seperti New York)
Jakarta diharapkan dapat menjadi daerah dengan pusat bisnis dan kegiatan perekonomian seperti New York. Adapun daerah baru di luar Pulau Jawa yang menjadi ibu kota baru akan menjadi pusat pemerintahan.
Dengan pemisahan ibu kota pemerintahan dan pusat kegiatan perekonomian, Kalla berharap pembangunan di Indonesia dapat berjalan dan terencana dengan baik. "Sehingga pemerintah pusat itu tidak terlalu besar, tapi diberikan kewenangan otonomi untuk mengkoordinasi daerah-daerah dengan baik," jelasnya.