Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara, dari Era Soekarno hingga Jokowi

Hari Widowati
30 April 2019, 15:16
Sejumlah kendaraan terjebak macet di ruas jalan bebas hambatan atau Tol, kawasan Cawang UKI, Jakarta, Senin (18/3). Pertumbuhan jumlah motor dan mobil di Jakarta mencapai 12 persen per tahun atau berkisar 5.500 hingga 6000 unit per hari dan kepadatan jala
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah kendaraan terjebak macet di ruas jalan bebas hambatan atau tol, di kawasan Cawang UKI, Jakarta, Senin (18/3). Kemacetan menjadi salah satu alasan pemerintah ingin memindahkan ibu kota negara ke luar Jakarta.

Tiga Alternatif Ibu Kota Baru

Pemerintah kembali membahas pemindahan ibu kota negara dalam ratas kemarin. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, ada tiga alternatif yang dikaji.

Pertama, ibu kota tetap di Jakarta tetapi ada distrik khusus untuk pusat pemerintahan. Distrik itu berada di sekitar Monas dan Istana Negara, Jakarta Pusat. Apabila pemerintah memilih alternatif ini, perlu disiapkan transportasi massal di distrik ini guna memudahkan mobilitas antarpegawai kementerian dan lembaga (K/L). "Artinya, harus mengubah peruntukan wilayah. Kerugiannya tentu hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat Indonesia," ujar Bambang.

Kedua, memindahkan ibu kota ke wilayah lain yang jaraknya hanya 60 sampai 70 kilometer dari Jakarta. Contohnya, Jonggol di Jawa Barat atau Maja di Banten. Keuntungannya, proses pemindahan ibu kota menjadi lebih dekat. Kelemahannya, Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) masih menjadi pusat kontribusi ekonomi terbesar.

Ratas Pemindahan Ibu Kota
Ratas Pemindahan Ibu Kota (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Namun, lokasi harus strategis dan berada di tengah wilayah Indonesia secara geografis. Hal ini penting supaya ibu kota negara merepresentasikan keadilan dan percepatan ekonomi di wilayah timur Indonesia. Selain itu, Bappenas pun mensyaratkan di wilayah tersebut tidak ada biaya pembebasan lahan dan minim bencana alam, seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, dan lain-lain.

(Baca: Rencana Pindah Ibu Kota, Jusuf Kalla Impikan Jakarta Seperti New York)

Daerah baru tersebut juga harus memiliki akses mobilitas dan logistik. Misalnya, pemerintah tidak perlu membangun bandara baru, pelabuhan, dan jalan. Selain itu, perlu ada layanan air minum, sanitasi, listrik, dan jaringan komunikasi yang memadai, serta dekat dengan pantai. Untuk alasan keamanan, ibu kota yang baru diupayakan tidak dekat dengan perbatasan negara.

Bappenas menghitung kebutuhan dana untuk pemindahan ibu kota negara mencapai Rp 323 triliun-Rp 466 triliun. Adapun luas lahan yang diperlukan sekitar 40 ribu hektare. Ada empat sumber pendanaan yang akan membiayai pemindahan ibu kota Indonesia. Keempat opsi tersebut adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan infrastruktur, BUMN sebagai penyedia infrastruktur utama dan sosial, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta peran swasta.

(Baca: Rencana Belum Matang, Menkeu Belum Hitung Anggaran Pindah Ibu Kota)

Pengalaman Brasil dan Malaysia Pindahkan Ibu Kota Negara

Peneliti dan Pengajar di National Research University Higher School of Economic, Vadim Rossman, dalam seabad terakhir ada lebih dari 30 negara yang memindahkan ibu kotanya. Pakistan memindahkan ibu kotanya dari Karachi ke Islamabad pada 1960-an. Brasil memindahkan ibu kota negaranya dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1961. Adapun Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada 1999.

Menurut Rossman, motif dan strategi pemindahan ibu kota negara kerap kali dipengaruhi tren urbanisasi. Di negara-negara berkembang, ibu kota negara mencatat angka urbanisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di negara-negara maju.

Pemindahan ibu kota negara juga bukan hal yang aneh. Namun, pelajaran yang paling penting ketika suatu negara memutuskan untuk memindahkan ibu kotanya adalah lokasi dan desain yang tepat. Selain itu, ibu kota negara juga harus inklusif, terhubung dengan baik dengan kota-kota di sekitarnya. Alhasil, perekonomian di kota-kota sekitarnya pun akan ikut berkembang.

Brasil membutuhkan waktu empat tahun untuk membangun Brasilia. Master plan kota tersebut dipilih dari sayembara yang melibatkan para ahli dari seluruh dunia. Arsitek yang menjadi perencana utama dalam pembangunan Brasilia adalah Lucio Costa. Sejak 1987, Brasilia ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia untuk kategori budaya oleh UNESCO.

Sementara itu, Malaysia juga membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk membangun Putrajaya. Relokasi lembaga pemerintah dan gedung-gedung kementerian ke Putrajaya membutuhkan waktu yang lebih lama, yakni sekitar 12 tahun.

Putrajaya merupakan salah satu proyek terbesar di Asia Tenggara pada waktu itu dan menelan biaya US$ 8,1 miliar. Kawasan ekonomi khusus ini didukung oleh jalur kereta KLIA transit yang menghubungkan Putrajaya ke Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Sepang.

Menurut kajian Bappenas, diperlukan waktu sekitar sepuluh tahun untuk pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke lokasi baru. Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah ingin ibu kota negara yang baru seperti Washington DC. Pusat pemerintahan tidak perlu menjadi kota yang sibuk seperti New York yang merupakan pusat bisnis dan perdagangan. Namun, rencana tersebut masih membutuhkan kajian mendalam sehingga masyarakat perlu bersabar menunggu cita-cita ini terwujud. 

(Baca: Rencana Pindah Ibu Kota, Jusuf Kalla Impikan Jakarta Seperti New York)

Halaman:

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...