Narasi Kecurangan dan Potensi Delegitimasi Pilpres 2019
Narasi potensi kecurangan dalam penyelenggaran Pilpres 2019 dalam beberapa waktu ke belakang kerap digulirkan oleh kubu pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Narasi tersebut awalnya digaungkan oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Amien Rais.
Amien mempersoalkan adanya 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bermasalah. Jumlah DPT tersebut dinilainya bermasalah karena tanggal lahir bertumpukan di tiga tanggal, yakni 1 Juli sebanyak 9.817.003, 31 Desember dengan jumlah 5.377.401, dan 1 Januari dengan 2.359.304 DPT.
Ketua Dewan Kehormatan PAN tersebut pun mengancam bakal mendorong masyarakat berbondong-bondong bergerak bila terjadi kecurangan dalam Pemilu. Menurut Amien, rencana aksinya itu merupakan bagian dari pemberontakan sosial atau social revolt masyarakat kepada penguasa. “Apabila ada kecurangan, kami akan mendorong masyarakat ke Monas,” kata Amien.
(Baca: KPU Imbau Amien Rais Ikuti Aturan Ketimbang Ancam Gelar People Power)
Gaung Narasi Kecurangan Pilpres 2019
Tak berhenti pada Amien Rais, narasi kecurangan Pilpres 2019 terus digaungkan, kali ini secara langsung oleh Prabowo. Dalam acara silaturahim Gerakan Elaborasi Rektor, Akademisi, Alumni dan Aktivis Kampus Indonesia di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (5/4), Prabowo meminta masyarakat mengawasi jalannya pencoblosan hingga penghitungan suara.
Menurut Prabowo, hal tersebut penting dilakukan untuk mengantisipasi timbulnya kecurangan dalam Pilpres 2019. "Beberapa hari lagi kita harus benar-benar turun dan atasi niat-niat kecurangan," kata Prabowo.
Prabowo juga menargetkan selisih kemenangan 25% suara dari pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Angka dipatoknya untuk menghindari dicurinya suara sekitar belasan persen dalam Pilpres 2019. "Kita harus menang dengan angka yang sangat besar," kata Prabowo.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya sudah kerap kali membantah tudingan Prabowo dan tim suksesnya. Teranyar, Ketua KPU Arief Budiman memastikan bahwa pihaknya memiliki prosedur dan mekanisme yang tidak memungkinkan adanya kecurangan.
Arief menjelaskan, prosedur dan mekanisme yang dijalankan oleh KPU pada Pemilu 2019 adalah dengan melakukan proses perhitungan suara secara manual. Hal tersebut dilakukan secara berjenjang mulai dari TPS hingga di tingkat pusat. "Semua dikontrol, mulai dari level TPS," kata Arief.
(Baca: Bantah Prabowo, KPU Jamin Tak Ada Kecurangan dalam Pilpres 2019)
Pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin juga telah meminta agar pihak-pihak yang merasa ada kecurangan untuk melaporkan hal tersebut. Ma'ruf bahkan mengungkapkan, sudah ada aturan yang jelas dan bisa menjadi dasar yang kuat untuk melaporkan jika terdapat kecurangan pada Pilpres 2019.
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berbagai regulasi tersebut pun termaktub dalam Peraturan KPU dan Bawaslu. ""Sudah ada peraturannya mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang harus dicegah," kata Ma'ruf
Meski demikian, narasi kecurangan Pilpres 2019 tersebut tak henti digaungkan. Analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto mengakui jika Pilpres 2019 bukan tanpa cacat. Saat ini banyak terjadi pelanggaran Pemilu, mulai dari yang bersifat administratif hingga pidana. Pelanggaran kode etik pun juga terjadi dalam Pilpres 2019.
Hanya saja, ia menilai adanya pelanggaran dalam Pilpres 2019 tidak lantas ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam Pilpres 2019. Segala pelanggaran dalam Pilpres 2019, menurutnya masih bisa diselesaikan oleh pihak berwenang, seperti Bawaslu, DKPP, Kepolisian, hingga Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, narasi kecurangan yang disampaikan kubu Prabowo berpotensi mengancam tatanan yang ada. Sebab, narasi tersebut tak hanya mengarah kepada ketidakpercayaan diri terhadap politik elektoral, namun juga ketidakpercayaan kepada penyelenggara Pemilu dan mekanisme hukum yang ada.
Hal ini lantas dapat mendelegitimasi penyelenggaran Pemilu yang ada. "Ancaman semacam itu juga mengekspresikan sikap mau menang sendiri, yang kini merupakan suatu penyakit dalam politik nasional," kata Arif ketika dihubungi Katadata, Selasa (9/4).
Narasi Kecurangan dan Efeknya Pada Legitimasi Pemilu
Arif menilai narasi kecurangan yang disampaikan Prabowo dan tim suksesnya mirip insinuasi yang disampaikan Donald Trump ketika maju sebagai kandidat presiden pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 silam. Menjelang konvensi calon presiden Partai Republik AS, Trump sempat menuduh bahwa dirinya telah dicurangi.
Trump juga sempat menuduh Pilpres AS bakal berlangsung curang, bahkan sebelum berhadapan ia dengan Hillary Clinton. "Saat penghitungan suara mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangannya, dia (Trump) berkata, ‘saya akan lihat nanti’," kata Arif.
Meski demikian, narasi kecurangan Pemilu ini diyakini tak akan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar. Sebab, masyarakat Indonesia yang terpengaruh terhadap isu tersebut kecil.
Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis Maret 2019, hanya 13% masyarakat yang tidak mempercayai kinerja KPU dan Bawaslu. Jika dirinci, ketidakyakinan terhadap kinerja KPU dari pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 23,3%. Sebaliknya, ketidakyakinan dari pendukung pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin kepada KPU hanya sebesar 4,1%.
Terkait pengawasan Bawaslu, SMRC menyebutkan ketidakyakinan pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 21,5%. Sementara, ketidakyakinan pendukung Jokowi-Ma'ruf terhadap pengawasan Bawaslu hanya sebesar 5,4%. "Jadi sejauh ini tidak banyak efeknya ke legitimasi penyelenggara Pemilu," kata Direktur Program SMRC, Sirojudin Abbas.
Meski demikian, narasi kecurangan Pemilu ini seharusnya tak dibiarkan. Oleh karena itu, KPU dan Bawaslu harus bisa memberi jaminan tegas terhadap legitimasi penyelenggaraan Pemilu.
Sirojuddin menambahkan, pihak-pihak yang menyebarkan fitnah terkait kecurangan Pemilu harus diusut. Sebab, jika terus-menerus diisukan atau diviralkan, ia khawatir masyarakat terpengaruh.
(Baca: Ma'ruf Amin: Laporkan Jika Ada Kecurangan Pada Pilpres 2019)