Sejumlah Tantangan atas Usul Pajak UMKM Digital 0 % dari Sandiaga Uno
Sebagai seorang pengusaha, Sandiaga Uno selalu menaruh perhatian terhadap isu-isu ekonomi. Ketika didaulat menjadi wakil Prabowo Subianto menuju pemilihan presiden (pilpres) 2019, mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia ini pun mengumandangkan masalah ekonomi akan menjadi ide utama kampanye. Rabu kemarin, dia menjanjikan tarif pajak nol persen bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor digital.
Dia menggaransi wacana tersebut diterapkan jika memenangkan pilpres melawan pasangan petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada April nanti. Tak hanya bagi UMKM digital, insentif tersebut hendak dikenakan terhadap pengusaha yang sedang transisi ke digital atau industri 4.0.
(Baca: Sandiaga-Prabowo Menang Pilpres, Pajak UMKM Digital Nol Persen)
Bagi Yustinus Prastowo, usul calon wakil presiden nomor urut 02 tersebut menarik. Hanya saja, kata pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini, perlu dimatangkan ketentuannya. “Tinggal formulasinya, yang dibebaskan pajak sampai berapa omzetnya, berapa lama, itu ditentukan lebih lanjut,” kata Prastowo kepada Katadata.co.id, Kamis (10/1) malam.
Idealnya, pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) UMKM ditentukan hingga batasan omzet tertentu. Dalam ketentuan saat ini, UMKM dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan PPh 0,5 %. Namun bagi perusahaan yang merugi akan dibebaskan pajaknya.
Namun, Prastowo menilai syarat pembukuan perusahaan yang berlaku saat ini masih berat. “Tantangannya di situ. Buat aplikasi pembukuan yang sederhana untuk UMKM,” ujarnya.
(Baca: Go-Pay Rangkul 240 Ribu Mitra, Sepertiganya UMKM)
Batasan omzet dan waktu pengenaan bebas pajak ini menjadi penting agar tidak ada moral hazard apabila UMKM tersebut sudah memiliki omzet besar. Selain itu, harus ada pengawasan yang baik oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk mempermudah pengawasan, ia menilai perlunya sistem yang mengakomodit klasifikasi bidang usaha agar dapat dipilah khusus untuk sektor digital. Selain itu, ia menilai perlunya definisi mengenai digital. Kalau tidak jelas, bisa saja UMKM konvensional yang punya aplikasi atau website lalu mengaku bergerak di bidang digital. “Itu bisa jadi modus,” katanya.
Definisi digital tersebut perlu menjelaskan bidang, cakupan, maupun modal dari usaha digital. Menurut Prastowo, hal ini dapat diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan.
Selain itu, perlu ada penyelarasan aturan tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (e-commerce). Ia menilai, pengertian e-commerce masih sempit. “Definisinya itu perdagangan elektronik. Sementara jasa elektronik, bagaimana?” ujar dia.
Sependapat dengan Sandi, Prastowo juga menilai pembebasan pajak dapat diberikan kepada UMKM pada dua tahun pertama. Hal ini dinilai cukup bagi pelaku usaha untuk mengatur bisnisnya hingga mencari investor. Setelahnya, investor dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan saat ini.
Namun Prastowo juga meminta Sandi untuk memikirkan kesetaraan sektor digital dan konvensional. “Tidak hanya digital saja. Semua start up butuh insentif,” katanya. (Baca: Pesan Jokowi ke Bukalapak: Bantu 52 Juta UMKM)
Sebelumnya, Sandi menyatakan tarif pajak nol persen bakal diterapkan selama dua tahun pertama, jika ia dan Prabowo dipih rakyat memimpin Indonesia. Melalui beleid ini, UMKM digital diharapkan terbantu terutama di tahun-tahun awal ketika beradaptasi di teknologi digital.
Ia yakin insentif tersebut dapat meningkatkan jumlah wajib pajak baru. Pelonggaran pajak dapat membantu UMKM mengembangkan skala bisnis. Bahkan, rencana pajak nol persen ini akan diperluas kepada korporasi secara keseluruhan.