Kasus Meikarta, Aher Sebut Ada Miskomunikasi terkait Panggilan KPK
Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta, di Kabupaten Bekasi. Sebelumnya Aher tidak memenuhi panggilan pertama dan kedua dari KPK karena adanya miskomunikasi.
"Saya katakan ada miskomunikasi antara saya dengan KPK, tapi alhamdulillah hari ini saya datang untuk memberikan dan menjelaskan status Meikarta itu," kata Aher seperti dikutip Antara, di Jakarta, Rabu (8/1).
Aher seharusnya menjadi saksi untuk tersangka Neneng Hassanah Yasin pada Senin (7/1). Namun, ia tidak datang dan tidak memberikan penjelasan atas ketidakhadiran tersebut.
Ia mengaku ada dua surat yang dikirim KPK kepadanya. "Yang pertama tanggal 18 Desember, tapi surat tersebut antara alamat surat dengan yang dituju berbeda," ujarnya. Alamat yang dituju di surat pertama adalah benar alamat Aher tetapi isi suratnya bukan untuk dia sehingga surat tersebut dikembalikan pada 19 Desember 2018.
Kemudian, KPK mengirimkan surat kedua tetapi diantar ke rumah dinas gubernur Jabar sehingga proses pengantaran dari rumah dinas gubernur ke rumah Aher terhambat. Oleh karena itu, kemarin Aher tidak datang memenuhi panggilan KPK.
Aher lalu menghubungi penyidik melalui call center KPK 198. Ia menceritakan masalah miskomunikasi tersebut kepada penyidik KPK lalu disarankan untuk datang ke kantor KPK tanpa surat panggilan berikutnya. Ia pun menyanggupi untuk datang ke Gedung KPK.
KPK terus mendalami sejumlah penyimpangan perizinan proyek Meikarta yang diduga terjadi sejak awal dan keterkaitannya dengan dugaan suap yang diberikan kepada Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin. KPK juga mendalami sumber dana suap tersebut pada sejumlah pejabat dan pegawai Lippo Group.
(Baca: Kasus Meikarta, Anggota DPRD Bekasi Diduga Terima Gratifikasi Wisata)
Gratifikasi untuk Anggota DPRD
Dalam kasus ini, KPK juga mendapat informasi adanya dugaan gratifikasi berupa pembiayaan wisata ke luar negeri untuk sejumlah anggota DPRD Bekasi dan keluarganya. Selama proses pemeriksaan sebelumnya, KPK juga telah menerima pengembalian uang dari beberapa anggota DPRD Bekasi tersebut.
"Sejauh ini berjumlah sekitar Rp 100 juta. Kami ingatkan, sikap kooperatif ini jauh lebih baik dalam proses hukum," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu, yaitu Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS), konsultan Lippo Group masing-masing Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ), Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), serta Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN).
Selanjutnya, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hassanah Yasin (NHY), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
KPK menduga pemberian itu terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare, yang terbagi dalam tiga fase. Fase pertama seluas 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare. Pemberian suap dalam kasus Meikarta diduga sebagai bagian dari commitment fee untuk fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar.
(Baca: Bupati Neneng Kembalikan Rp 8 Miliar dari Suap Perizinan Meikarta)