Mahkamah Konstitusi Kembali Tolak Gugatan Ambang Batas Calon Presiden
Mahkamah Konstitusi kembali menolak gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Atas dasar itu, ambang batas persyaratan pencalonan presiden alias presidential threshold sebesar 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah nasional sebagaimana diatur dalam pasal tersebut tetap berlaku.
Majelis hakim merasa tak memiliki alasan untuk mengubah pendirian mereka sebagaimana tercantum dalam berbagai putusan sebelumnya. Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan mengenai ambang batas presidensial sejak 2008 hingga 2018. Putusan terakhir atas penolakan gugatan tersebut teregister dalam Putusan MK No. 72/PUU-XV/2017. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta pada Kamis (25/10).
(Baca juga: Pendukung Prabowo Kembali Ajukan Uji Materi Syarat Calon Presiden)
Dalam pertimbangannya, Mahmakah menolak permohonan karena menilai klausul mengenai presidential threshold bersifat konstitusional dan merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Penerapan presidential threshold juga dinilai sesuai dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Penguatan dilakukan dengan pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di DPR. Kemudian, penyederhanaan jumlah partai politik.
Terhadap argumentasi pemohon bahwa persyaratan ambang batas calon presiden menghilangkan esensi Pilpres karena berpotensi menghadirkan capres tunggal, Mahkamah menilai hal tersebut sekilas tampak logis. Hanya saja, argumentasi pemohon mengabaikan fakta bahwa UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syaratnya terpenuhi.
Alhasil, kendati diberlakukan syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, kemungkinan lahirnya partai politik baru akan tetap terbuka. “Terlebih lagi, untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebuah partai politik terlebih dahulu haruslah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM,” kata Hakim Maahkamah Saldi Isra.
Terhadap argumentasi para pemohon bahwa Pasal 222 UU Pemilu berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum, Mahkamah menilai hal itu tidak beralasan sama sekali. Sebab, rumusan Pasal 222 UU Pemilu tidak memberi ruang untuk ditafsirkan berbeda karena telah sangat jelas.
Setidaknya, terdapat lima gugatan uji materi mengenai PT yang terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Ada dua gugatan uji materi yang ditolak Mahkamah, antara lain berasal dari 12 tokoh masyarakat dan aktivis. Kemudian, gugatan yang diajukan oleh Effendi Ghazali cs. Sementara, tiga gugatan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima.
(Baca juga: MK Sebut Butuh Waktu Proses Gugatan Masa Jabatan Cawapres)
Menanggapi ini, kuasa hukum 12 tokoh masyarakat dan aktivis pemohon uji materi, Denny Indrayana mengaku menghormati putusan Mahkamah. Meski demikian, Denny tetap berpandangan bahwa syarat presidential threshold dalam pemilu secara esensial bertentangan dengan konstitusi.
Alasan dasarnya, tidak ada persyaratan presidential threshold dalam UUD 1945. Namun, syarat itu tiba-tiba muncul dan dikaitkan dengan hasil pemilu lima tahun sebelumnya. “Tidak ada di negara manapun di dunia ini yang syarat presidennya itu dikaitkan dengan pileg lima tahun sebelumnya. Jadi Indonesia adalah satu-satunya, dan menurut kami seharusnya ini dibatalkan,” kata Denny.
Sementara, Effendy menilai pertimbangan majelis hakim Mahkamah yang menolak gugatannya mengandung kebohongan dan tak masuk akal. Effendy berpendapat jika analogi yang diambil majelis hakim Mahkamah dalam pertimbangannya keliru.
(Baca: 12 Tokoh, Mantan Pejabat, Ekonom Gugat Lagi Ambang Batas 20 %)
Dia menilai seharusnya posisinya sebagai pemohon gugatan dipertimbangkan. Lebih lanjut, majelis hakim juga dinilai tak menjawab pertanyaan yang diajukannya terkait negara mana di dunia yang menggunakan presidential threshold dari pileg lima tahun sebelumnya. “Sebelum itu bisa dijawab, artinya hakim Mahkamah melakukan pembohongan publik,” kata Effendy.