Tersisa 37 Vonis, Amnesty International Dorong Hukuman Mati Dihapus
Amnesty Internasional Indonesia mencatat ada 37 vonis hukuman mati dari Januari sampai Oktober 2018 di Tanah Air. Vonis mati ini setara dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Dari total 37 kasus tersebut, 28 di antaranya terkait penyalahgunaan narkoba, delapan vonis dalam kasus pembunuhan dan satu vonis atas kasus terorisme. Orang yang dijatuhkan hukuman mati tadi delapan di antaranya warga negara Taiwan dan sisanya dari Indonesia.
Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, 37 vonis tersebut menambah panjang daftar orang-orang yang menunggu eksekusi mati. “Per detik ini ada 299 orang yang menunggu eksekusi mati,” kata Usman di Jakarta, Rabu (10/10).
Meski demikian, Usman bersyukur Indonesia tidak melakukan eksekusi mati dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini terjadi karena pemerintah sebenarnya melihat bahwa ada bukti kelemahan dalam pemberian vonis tersebut.
Misalnya, hal itu terlihat dari kasus Yusman Telambauna, Humphrey Jefferson Ejike, dan Mary Jane Veloso beberapa waktu lalu. Ketiga kasus tersebut menunjukkan ada masalah serius pada praktik hukuman mati di Indonesia, masih belum adil dan cenderung memihak. “Ini tiga kasus besar yang menunjukkan ada masalah serius dari vonis mati di indonesia,” kata Usman.
Karena masih ada masalah serius, Amnesty merekomendasikan pemerintah segera menetapkan moratorium eksekusi mati. Tak hanya itu, Amnesty meminta penghapusan hukuman mati di Indonesia.
(Baca juga: Divonis Hukuman Mati, Aman Abdurrahman Tolak Ajukan Banding)
Menurut Usman, tuntutan ini perlu dikabulkan karena hukuman mati tidak dapat diubah jika terjadi kesalahan dalam proses peradilannya. Vonis ini pun berpotensi disalahgunakan lantaran dasar bukti-bukti kerap didapatkan melalui penyiksaan dan kualitas pendampingan hukum yang tidak layak.
Hukuman mati juga sering kali bersifat diskriminatif karena ditimpakan kepada orang-orang dengan latar belakang sosio-ekonomi kurang diuntungkan atau minoritas. “Termasuk di dalamnya para individu yang memiliki akses terbatas pada perwakilan hukum, atau mereka yang dirugikan oleh sistem peradilan pidana di suatu negara,” kata Usman.
Hukuman mati juga perlu dihapuskan karena dinilai tidak memiliki relevansi dalam mengurangi kejahatan. Justru, lanjut Usman, angka kejahatan di negara yang menghapus hukuman mati mengalami penurunan.
Salah satu contoh tersebut dapat dilihat di Kanada. Pada 2008, tingkat pembunuhan di negara tersebut berkurang 50 persen dibandingkan tahun 1976 ketika hukuman mati dihapus. “Tidak ada data yang mengatakan bahwa hukuman mati lebih efektif dalam mengurangi kejahatan daripada penjara seumur hidup,” kata Usman.
Apalagi, dia menilai penghapusan hukuman mati dapat lebih menguntungkan Indonesia. Menurut Usman, penghapusan hukuman mati dapat memperbaiki citra Indonesia di mata dunia. Indonesia saat ini menjadi salah satu dari 56 negara yang masih berstatus retensionis atas hukuman mati. Padahal, lebih dari dua per tiga negara di dunia sudah menghapus hukuman mati baik pada aturan maupun praktiknya.
Hingga 31 Desember 2017, jumlah negara yang berstatus abolisionis untuk semua kejahatan berjumlah 106. Negara berstatus abolisionis untuk kejahatan biasa sebanyak tujuh dan abolisionis dalam praktik 29.
Selain itu, penghapusan hukuman mati dapat memudahkan diplomasi Indonesia dalam membebaskan WNI yang terkena vonis mati di luar negeri. “Terakhir, penghapusan hukuman mati dapat membawa ketenangan mental dari para terpidana mati,” kata dia.