Berdayakan Perempuan dan Ekonomi Masyarakat Lewat Industri Kreatif
Aktif dalam industri kreatif tak sekadar membuat perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya. Lebih dari itu, mereka bisa menginisiasi pemberdayaan ekonomi masyarakat yang lebih luas.
Susi Sukaesih, menciptakan kewirausahaan sosial dengan mengawinkan pendidikan serta industri kreatif di kawasan Bekasi. Perempuan berusia 33 tahun itu memulai upayanya untuk memberdayakan masyarakat dengan membangun sekolah khusus bagi anak-anak yang putus sekolah dari kalangan marjinal sejak 2012.
Susi bergerilya untuk mencari anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah, hingga terkumpul 25 siswa sebagai peserta didik pertamanya. Pusat pendidikan ini awalnya dibentuk dengan nama SMK Itaco yang merupakan kependekan dari Imperial Technology Automotive and Accounting College, serta hanya menerima siswa yang putus sekolah pada tingkat SMA atau sederajat.
SMK Itaco kemudian berubah bentuk menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang berbasis sekolah nonformal pada 2016. Anak putus sekolah yang diterima pun semakin beragam, mulai dari siswa setara SMP dan SMA yang diarahkan mengikuti ujian kejar paket B dan paket C.
Selama menjalankan sekolahnya, Susi menemui berbagai kendala. Sebagian siswa yang telah dikumpulkannya kerap tidak datang ke sekolah karena tidak memiliki ongkos, bahkan diminta untuk membantu orangtuanya mencari uang.
Sebagai solusi, pada 2013, Susi menggagas komunitas Siswa Wirausaha untuk membekali para siswa dengan keterampilan desain dan wirausaha sebagai modal untuk mengembangkan usaha. Para siswa diharapkan mampu membuat produk seperti mug, pin, dan kaos dengan desain sendiri dan menjualnya, hasilnya sebagian dikembalikan kepada para siswa dan sisanya digunakan untuk membiayai operasional sekolah.
Melalui komunitas ini, Susi tak hanya mendorong para siswa untuk terus melanjutkan pendidikan, tetapi juga membuat mereka siap untuk mandiri. “Saya percaya pendidikan merupakan cara paling ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan,” ujarnya.
Berbekal beberapa komputer sumbangan sejumlah pihak, komunitas siswa wirausaha mulai menerima jasa sablon kaos, jasa desain, jasa printing mug, dan pin. Pada pertengahan 2015, Siswa Wirausaha mulai melakoni usaha konveksi setelah mendapatkan pelatihan menjahit dari sebuah organisasi nirlaba.
Komunitas ini kemudian mendapatkan berbagai bantuan dalam bentuk mesin jahit sebagai alat produksi. Para siswa pun mulai menghasilkan produk sendiri pada 2017 dengan merek ITACO. Produk yang dihasilkan berbagai macam, mulai dari tas, dompet, souvenir dan beberapa produk fesyen lainnya.
Saat ini, jumlah siswa yang terdaftar dalam mengikuti kegiatan di Siswa Wirausaha berjumlah 15 orang yang terdiri atas 5 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Setiap anak didik yang ikut dalam membuat pesanan konsumen menerima uang saku Rp15.000 sampai dengan Rp30.000 per item.
Susi juga aktif memasarkan produknya ke pemerintah, perusahaan, dan ibu-ibu sekitar rumahnya. Tak sekadar mengandalkan relasi, dia juga memanfaatkan media digital dengan menggunakan media sosial dan website untuk mempromosikan produknya.
Dengan respons yang cukup baik dari konsumen, omzet komunitas Siswa Wirausaha bisa mencapai Rp13 juta-Rp20 juta per bulannya. Dari jumlah tersebut, siswa bisa mendapatkan bagian sekitar Rp500.000-Rp1 juta per orangnya yang digunakan untuk membantu keluarga dan mendukung aktivitas belajar mengajar seperti uang transport dan fotokopi.
Sementara itu, sekitar 15%-20% sisanya digunakan untuk operasional sekolah. Dari aktivitas Siswa Wirausaha ini Susi mengatakan lebih banyak siswa yang terbantu untuk sekolah dan terlibat dalam kewirausahaan.
Susi telah membuktikan bahwa perempuan mampu menggerakkan industri kreatif dan berkontribusi terhadap perekonomian nasional meskipun skalanya masih tergolong kecil.
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menjelaskan bahwa industri kreatif memberikan wadah untuk mendukung pemberdayaan perempuan yang berkelanjutan. Apalagi di berbagai komunitas di dunia, nilai-nilai kebudayaan yang kaya dan desain tradisional dijaga dan dilestarikan oleh para perempuan.
Hal ini selaras dengan jumlah tenaga kerja perempuan yang berhasil diserap oleh industri kreatif nasional. Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif Nasional, tenaga kerja perempuan pada industri kreatif mencapai 53,86 persen, sedangkan laki-laki sebanyak 46,52 persen.
Angka tersebut berbanding terbalik dengan data tenaga kerja nasional pada 2015 yang mencatat 62,84 persen adalah laki-laki, dan sisanya sebanyak 37,16 persen merupakan perempuan.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf memaparkan sub-sektor kuliner tercatat berkontribusi sebesar 41,69 persen, kemudian fesyen sebesar 18,15 persen, dan kriya sebesar 15,70 persen.
"Peran perempuan sangat penting. Tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia terutama sektor fesyen, kuliner dan kriya," paparnya seperti dikutip Kompas.com (12/2/2018).
Hingga saat ini, ekonomi kreatif telah menyerap sekitar 15,9 juta tenaga kerja dengan kontribusi 7,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Bahkan, pada tahun ini pemerintah menargetkan kontribusi ekonomi kreatif mencapai Rp1.100 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data dari Bank Indonesia, total usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia saat ini mencapai 57,83 juta unit usaha. Di mana sekitar 60 persen atau sebanyak 37 juta pelaku UMKM adalah perempuan, dan sebanyak 8,2 juta unit atau 14,7% berada di subsektor industri kreatif.
This article was produced in partnership with Investing in Women, an initiative of the Australian Government that promotes women’s economic empowerment in South East Asia.