BPK Beri Opini 'Disclaimer' ke KKP, Luhut Minta Susi Belajar Mendengar
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memberikan catatan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang kementeriannya mendapatkan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atau disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Luhut meminta agar Susi "belajar mendengar" dan menaati rekomendasi yang diberikan BPK.
Menurut Luhut, mendengarkan masukan orang lain merupakan hal penting ketika mengerjakan sesuatu. Luhut pun menceritakan pengalamannya ketika masih di militer. Ketika itu, Luhut mampu meminimalisasi korban prajurit saat operasi militer karena mau mendengarkan masukan.
"Kalau di militer itu lebih banyak (korban) nyawa. Saya bilang 'kau kalau berlatih baik-baik, peluang nyawamu kena sedikit'. Di sini kalau kau main-main dengan angka, ya kau masuk penjara," kata Luhut di Gedung BPPT, Rabu (6/6).
(Baca juga: Jokowi Minta KKP dan Bakamla Perbaiki Laporan Keuangan yang Disclaimer)
Dalam kesempatan yang sama, Luhut pun menitipkan pesan terhadap Irjen KKP Muhammad Yusuf yang hadir mewakili Susi agar laporan keuangan KKP lebih baik ke depan. Terlebih, Yusuf pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Saya mohon tunjukkan ketelitian PPATK yang Anda dulu buat waktu saya Menko Polhukam, kan bagus sekali. Saya mohon nanti supaya main di situ dan dibantu para Dirjennya," kata Luhut.
Sebelumnya, merespons predikat opini disclaimer dari BPK, Susi menyatakan heran. Dia menjelaskan, KKP selalu memberi penjelasan kepada BPK dan menerangkan apa-apa saja yang dibutuhkan dalam rangka penilaian laporan keuangan KKP tahun 2017.
"Dirjen saya juga dibawa hari itu, bicara beberapa hal yang telah kami counter dan respons, namun semua respons kami sepertinya tidak dihitung atau tidak direspons, saya tidak tahu persoalannya," ujar Susi seperti dikutip dari Kompas TV, Jumat (1/6).
(Baca: BPK Temukan 18 Permasalahan dalam Laporan Keuangan Pemerintah)
BPK memberikan opini disclaimer kepada KKP pada Laporan Keuangan 2017, sama seperti tahun sebelumnya. Opini tersebut diberikan BPK lantaran ada beberapa temuan signifikan pada pemeriksaan Laporan Keuangan KKP 2017.
Temuan-temuan BPK tersebut yakni:
1. Persediaan sebesar Rp 38,28 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Persediaan yang tidak didukung dengan penatausahaan yang memadai dan tidak dilakukan inventarisasi fisik sebesar Rp 33,92 miliar.
b. Persediaan kapal yang diakui telah selesai 100%, namun secara fisik belum selesai. Selain itu tidak tersedia data rincian harga satuan untuk komponen dalam kontrak sebesar Rp 4,36 miliar.
2. Nilai buku aset tetap diragukan sebesar Rp 556,99 miliar, terdiri dari:
a. Aset tetap yang keberadaannya tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 684,36 juta.
b. Saldo tidak wajar yang tak dapat dijelaskan penyebabnya sebesar Rp 226,60 miliar, di antaranya bersaldo minus, penyusutan melampaui harga perolehan, dan belum teridentifikasi penyusutannya.
c. Aset tetap tanah pulau Nipa kerja sama dengan pihak ketiga sebesar Rp 129,83 miliar yang luasan dan nilai perolehannya berbeda antara data menurut SIMAK BMN, perjanjian kerjasama pemanfaatan, dan persetujuan Kementerian Keuangan.
d. Konstruksi dalam pengerjaan (KDP) sebesar Rp 199,88 miliar di antaranya bersaldo minus sebesar Rp 78,87 miliar, transaksi tidak wajar sebesar Rp 4,25 miliar, mutasi keluar yang tidak dapat ditelusuri menjadi aset definitif sebesar Rp 56,02 miliar.
KDP hasil Pengadaan Barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung /KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar yang tidak didukung dengan dokumen progress fisik memadai dan dokumen Rencana Anggaran Biaya terinci untuk setiap komponen dalam kontrak.
3. Aset lainnya sebesar Rp 37,26 milliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Aset tak berwujud berupa paten, hasil kajian yang tidak didukung dokumen perolehan lengkap dan valid sebesar Rp 24,57 miliar.
b. Nilai amortisasi yang melampaui nilai perolehan namun tidak dapat dijelaskan sebesar Rp 10,54 miliar.
c. Saldo yang tidak wajar antara lain saldo minus dan perbedaan antara nilai pada neraca dengan SIMAK yang tidak dapat dijelaskan sebesar Rp2,15 miliar.
4. Utang kepada pihak ketiga atas pengadaan kapal sebesar Rp 4,06 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, terdiri dari:
a. Saldo tersebut merupakan utang pengadaan kapal penangkap ikan yang diakui berdasarkan jumlah unit kapal yang telah selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak.
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK dan dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) KKP, kapal tersebut tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
5. Realisasi belanja barang sebesar Rp164,42 miliar yang tidak diyakini kewajarannya, meliputi:
a. Kelemahan pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja pengadaan kapal.
Ketidaksesuaian jumlah unit kapal antara KAK, SK Penetapan Penerima Bantuan dan Juknis Sarana Bantuan Penangkapan Ikan. Pengadaan kapal dinilai tidak sesuai KAK di mana menurut KAK sebanyak 755 unit namun terkontrak 785 unit.
Dari 755 unit kapal, pengadaan mesin sebanyak 743 unit. Alhasil, 12 unit kapal tidak mendapat kuota mesin.
Realisasi belanja pengadaan kapal sebesar Rp 25 miliar yang pembayarannya berdasarkan jumlah unit kapal selesai dan diterima dengan harga per unit sesuai kontrak.
Hasil pemeriksaan BPK atas kondisi kapal, dokumentasi Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) KKP dan Biro Klasifikasi Indonesia, kapal-kapal yang dibeli dengan anggaran sebesar Rp 25 miliar tidak sesuai spesifikasi teknis dan tidak tersedia data rincian harga satuan untuk setiap komponen dalam kontrak.
Pelaksanaan pekerjaan tidak didukung dengan konsultan pengawas. Keterlambatan penyelesaian pekerjaan atas unit kapal yang melebihi batas kontrak hingga 31 Maret 2018 belum dikenakan denda minimal Rp 5,4 miliar.
Sepuluh kontrak atau sebanyak 76 unit kapal senilai Rp 21 miliar yang penyelesaian pekerjaannya melebihi batas waktu sesuai PMK 243 tidak dilakukan pemutusan kontrak.
b. Selain itu, terdapat belanja antara lain berupa honorarium dan sewa sebesar Rp 139,41 miliar yang tidak didukung bukti lengkap dan diragukan validitasnya sebagai pertanggungjawaban atas realisasi kegiatan.
6. Realisasi belanja modal pengadaan barang Percontohan Budidaya Ikan Lepas Pantai (Keramba Jaring Apung Lepas Pantai/KJA Offshore) sebesar Rp 60,74 miliar tidak diyakini kewajarannya.
a. Pembayarannya menggunakan progres fisik berdasarkan estimasi tanpa memperhatikan komponen-komponen yang belum terpasang.
b. Tidak tersedia data rincian harga satuan komponen-komponen tersebut dalam kontrak serta atribusi biaya perakitannya per item pekerjaan. Pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak didukung dengan konsultan pengawas.
Atas pengadaan tersebut ditemukan permasalahan lainnya, meliputi pembangunan dua unit work boat senilai Rp 25,4 miliar (sebelum PPn) yang seharusnya berasal dari Norwegia di subkontrakkan kepada pihak ketiga di Batam. Kelebihan pembayaran atas pengadaan item-item pekerjaan yang belum datang dan/atau lengkap per 31 Desember 2017 sebesar Rp 39,64 miliar.
Denda keterlambatan yang belum dipungut minimal sebesar Rp 8,82 miliar. Lalu, sampai dengan tanggal 5 April 2018 pekerjaan tersebut belum selesai. Padahal, sesuai dengan PMK 243 tahun 2015 pekerjaan tersebut harus selesai tanggal 31 Maret 2018.
(Baca: Laporan Keuangan Pemerintah Terus Membaik, 90,9% Lembaga Dapat WTP)