MK Sebut Pasal Penghinaan Presiden Seharusnya Tak Diatur di RUU KUHP
Mahkamah Konstitusi (MK) menilai DPR dan pemerintah tidak seharusnya memasukkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sebab, aturan mengenai soal penghinaan presiden pernah dibatalkan oleh MK.
Dalam pembahasan RUU KUHP, pemerintah dan DPR kembali memasukannya dalam Pasal 238 RUU KUHP tentang penghinaan presiden. Pasal tersebut sebenarnya sudah pernah dibatalkan MK melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
"Dalam melakukan pembaruan KUHP, pembentuk UU tidak boleh lagi memasukkan rumusan norma seperti yang dibatalkan oleh MK," kata juru bicara MK Fajar Laksono di Jakarta, Kamis (15/2).
(Baca juga: RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat)
Dalam putusan MK, pembatalan dipertimbangkan karena martabat presiden dan wakil presiden tidak dapat diberikan keistimewaan sehingga memperoleh kedudukan dan perlakuan berbeda di hadapan hukum.
Selain itu, pasal tersebut dibatalkan dengan pertimbangan menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu proses, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
"Kalau dilihat pertimbangan putusan itu sebetulnya sudah jelas. Memasukkan kembali norma yang serupa dengan yang dibatalkan MK itu bertentangan dengan putusan MK," kata Fajar.
Menurut Fajar, DPR dan pemerintah seharusnya mengikuti tafsiran yang dilakukan MK terkait rumusan norma tersebut. Sebab, MK merupakan penafsir akhir konstitusi di Indonesia.
"Sebaiknya ketika sudah ada penafsiran terhadap satu norma di UU ikuti saja oleh pembentuk UU," kata Fajar.
Jika hal tersebut tidak dilakukan, Fajar khawatir ini akan membuat adanya masalah pada sistem konstitusi Indonesia. Sebab, regulasi yang dibuat menjadi tidak efisien karena akan secara berulang dibentuk dan dibatalkan.
"Kalau tidak dilaksanakan, yang sudah dinyatakan batal dibangkitkan lagi, ini akan menjadi krisis konstitusi. Ini tidak efektif," kata Fajar.
(Baca juga: Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers)
Selain pasal penghinaan presiden, RUU KUHP mendapat sorotan karena dianggap dapat melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat di Indonesia. Banyak pasal dalam RUU tersebut yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat ketika melakukan kritik atau menyatakan aspirasi dan pendapatnya.
Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya memaparkan, terdapat 15 klausul dalam berbagai pasal yang dapat melanggar hak tersebut, seperti penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kepala negara dan wakil kepala negara sahabat, dan penghinaan terhadap pemerintah (263, 264, 269, 284, 285). Lalu, pencemaran nama baik (540), fitnah (541), penghinaan ringan (543), pengaduan fitnah (545).
Kemudian, pencemaran orang yang sudah meninggal (548, 549), penghinaan terhadap simbol negara (281, 282, 283), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (407), penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme (219, 220).
Lalu, pernyataan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu (286-289), penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (350), tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (352), dan tindak pidana pembocoran rahasia (551), serta pelanggaran kesusilaan (469, 470, 471, 475).