Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah dibahas DPR dinilai dapat membungkam kebebasan pers di Indonesia. Gabungan organisasi pers mendesak agar DPR mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.
Pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya mengatakan, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP tersebut berpotensi mengkriminalisasi pers ketika melakukan pekerjaan jurnalistik. Beberapa pasal tersebut antara lain mengenai penyebaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dalam Pasal 309 dan 310; tindak pidana penerbitan dan percetakan dalam Pasal 771, 772, dan 773.
Kemudian, gangguan dan penyesatan proses pengadilan dalam Pasal 328 dan 329; serta membuat, mengumpulkan, menyimpan, membuka rahasia negara dan pembocoran rahasia negara dalam Pasal 228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238, dan 239.
Gading mengatakan, klausul mengenai penyebaran berita bohong dan berita yang tidak pasti dalam RKUHP dapat membahayakan pekerjaan wartawan. Alasannya, jurnalis kerap mendapatkan pernyataan dari narasumber yang selalu berubah dari hari ke hari.
"Seorang narasumber bisa mengeluarkan pernyataan A di hari pertama dan mengeluarkan pernyataan B di hari berikutnya. Pembatasan pada pasal-pasal tersebut bisa menyebabkan jurnalis yang memberitakan pernyataan A dinilai menyiarkan berita bohong," kata Gading di Jakarta, Selasa (13/2).
(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)
Selain itu, klausul tersebut dianggap tidak ditetapkan dengan jelas. Hal ini terlihat dari sejumlah kata-kata yang digunakan seperti "berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat atau "berita yang berlebihan".
Hal itu juga terjadi pada tindak pidana penerbitan dan percetakan. Dalam pasal tersebut, Gading menyebut terdapat pasal-pasal yang dinilai kabur. "Kepentingan pembatasan melalui pasal-pasal tersebut tidak jelas," kata Gading.
Peneliti dari MaPPI FHUI Ditta Wisnu menyebut klausul tindak pidana terhadap gangguan dan penyesatan proses pengadilan (contempt of court) dalam RKUHP dinilai berlebihan.
RKUHP memuat larangan untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam peradilan. Pasal tersebut seolah ingin menyatakan bahwa hakim yang memihak ke salah satu pihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media.
Selain itu, pasal ini juga terkesan menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis terhadap kinerja keadilan. "Banyak hal yang seperti membungkan demokrasi, tidak hanya pers tapi juga masyarakat," kata Ditta.
(Baca juga: Disahkan, UU MD3 Buat DPR Miliki Kewenangan Kontroversial)
Menurut Ditta, dimasukkannya klausul ini dalam RKUHP dapat menambah panjang daftar pengusiran pers dari pengadilan. MaPPI FHUI mencatat sejak 2011-2015 saja selalu ada kasus yang melibatkan pengusiran pers dari ruang persidangan.
"Tanpa adanya RKUHP mengatur contempt of court disahkan ini sudah terjadi. Bagaimana jika pasal ini disahkan? akan seperti apa pers?" kata Ditta.
RKUHP juga memuat sejumlah pasal yang bertujuan mencegah orang tanpa wewenang melakukan upaya mencari, menerima, dan menyebarluaskan informasi yang bersangkutan dengan kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Kepentingan ini didefinisikan sebagai hal-hal seperti gambar, pengukuran, penulisan, keterangan, petunjuk, surat, peta bumi, rencana atau barang, letak, bentuk, susunan persenjataan, perbekalan, perlengkapan amunisi, kekuatan orang, cetakan, tiruan, berita, atau hal lain.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Ahmad Nurhasim, pasal tersebut dapat mengkriminalisasi banyak jurnalis di Indonesia. Sebab, jurnalis kerap mendapatkan informasi yang dianggap rahasia negara dari berbagai narasumber yang dimilikinya.
Ahmad mencontohkan, jurnalis kerap mendapatkan bocoran surat dakwaan atau draf regulasi. Padahal, hal tersebut menurut logika penegak hukum merupakan rahasia negara karena belum dipublikasikan secara resmi.
"Kalau itu dipidanakan, banyak sekali jurnalis dan pemimpin redaksi yang akan masuk penjara karena medianya menyiarkan sesuatu yang dianggap oleh negara itu sebagai rahasia," kata Ahmad.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia Wenseslaus Manggut mengatakan, berbagai rumusan pasal tersebut dapat mematikan mekanisme sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Orang-orang yang merasa keberatan dengan pemberitaan suatu media dapat langsung mengusut secara pidana karena difasilitasi berbagai pasal tersebut.
Padahal, Wenseslaus menilai jika mekanisme melalui Dewan Pers selama ini sudah cukup efektif menyelesaikan sengketa pemberitaan. Dia menilai peluang untuk membawa sengketa pers melalui pidana melalui RKUHP ini salah.
"RKUHP ini membuat UU Pers menjadi lumpuh," kata Wenseslaus.
Dari berbagai alasan tersebut, organisasi pers mendesak pemerintah dan DPR agar mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah dan DPR mengedepankan prinsp penghormatan dan pemenuhan HAM.
"Khususnya kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers dalam membuat rumusan dan ketentuan dalam RKUHP," kata Direktur LBH Pers Nawawi Bahrudin.