MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Ambang Batas Presiden Tetap 20%
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dengan demikian, Pasal 222 UU Pemilu tetap berlaku, yakni mengatur presidential threshold atau ambang batas persyaratan pencalonan presiden sebesar 20% kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% suara sah nasional.
"Menyatakan permohonan para pemohon tak dapat diterima," kata Ketua MK Arief Hidayat putusan MK, Kamis (11/1).
Dalam putusan ini, ada dua hakim MK yang mengajukan disssenting opinion atau perbedaan pendapat terkait putusan MK terhadap uji materi pasal 222, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo. Kedua hakim sepakat ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 itu dihapus, di antaranya dengan alasan aturan ambang batas 20% memberikan ketidakadilan pada partai politik (parpol) baru.
(Baca: Presidential Threshold 20% Sejak 2009, Jokowi: Kenapa Dulu Tak Ramai?)
Permohonan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu diajukan beberapa pihak dalam berkas yang berbeda. Pemohon uji materi di antaranya Ketua Partai Idaman Rhoma Irama, pengamat komunikasi Effendi Gazali, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, dan Mas Soeroso.
Dalam pertimbangannya, MK memaparkan Pasal 222 tentang ambang batas presiden itu sesuai dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial. SElain itu MK memaparkan penerapan sistem presidensial suatu negara idealnya disertai penyederhanaan terhadap sistem kepartaian, namun hal ini belum tercapai di Indonesia.
"Dengan sejak awal diberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden berarti sejak awal pula dua kondisi terpenuhi bagi hadirnya sistem presidensial, yaitu pertama, upaya pemnuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden di DPR dan kedua, penyederhanaan jumlah partai politik," bunyi putusan tersebut.
(Baca: Setya Novanto Sahkan UU Pemilu, Empat Fraksi Walk Out)
Mahkamah juga menolak dalil yang mengatakan Pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak pemohon (dalam hal ini Rhoma Irama) sebagai calon presiden. Mahkamah berpendapat dalil diskriminasi tidak tepat karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta merta dianggap diskriminasi. MK menyatakan perlakuan disebut diskriminasi bila didasari oleh pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, golongan, status sosial yang diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di samping itu, mahkamah juga menyanggah dalil pemohon yang menyebutkan ambang batas pencalonan presiden 20% sebagai manipulasi partai pendukung pemerintah. Mahkamah menyatakan pembentukan suatu undang-undang adalah kewenangan DPR dan presiden.
"Oleh karena itu mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama proses pembentukan undang-undang," bunyi putusan yang dibacakan hakim.
Pemohon juga menggugat Pasal 222 dalam UU Pemilu dengan dalil tidak relevan karena telah digunakan dalam Pemilu 2014. Dalil ini dipatahkan Mahkamah dengan menyatakan Pemilu 2014 mengacu pada UU No 8 Tahun 2012. Dalam UU Nomor 8/2012 tersebut belum berlaku ketentuan tentang presidential treshold dalam proses pengusulan pasangan capres dan cawapres.
"Lagipula bagaimana mungkin undang-undang yang lahir belakangan dikatakan kedaluwarsa terhadap suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi sebelumnya yang tunduk pada undang-undang yang berbeda."
(Baca: Alot Bahas Ambang Batas Presiden, Paripurna RUU Pemilu Hujan Interupsi)