Survei PPATK: Anggota DPR Dianggap Pelaku Utama Pencucian Uang

Dimas Jarot Bayu
19 Desember 2017, 16:09
Penukaran uang dolar AS
ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Penukaran uang dolar AS di sebuah gerai Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) di Malang, Jawa Timur, Kamis (23/2).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis hasil penelitian Indeks Persepsi Publik terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan Pendanaan Terorisme (IPP APU-PPT) 2017. Dari hasil survei ini,  publik menilai bahwa legislatif merupakan pelaku utama TPPU dengan skor 7,57 dari skala 0-10.

Selanjutnya, yang dianggap sebagai pelaku utama TPPU yakni eksekutif (7,42), yudikatif (7,21), pengurus atau anggota partai politik (6,20), dan pengusaha (5,86). Selain itu publik menilai jika TPPU tersebut berasal dari korupsi (8,03), penyuapan (7,85), narkotika (7,28), perpajakan (7,13), dan psikotropika (6,98).

"Publik meyakini faktor pendorong terjadinya TPPU adalah belum efektifnya upaya penegakan hukum di Indonesia (7,18), minimnya teladan yang baik dari politisi dan pejabat pemerintah (7,41), dan belum efektifnya pengawasan pelaksanaan aturan dalam pencegahan serta pemberantasan pencucian uang (7,42)," kata anggota tim ahli survei analisis IPP APUPPT 2017, Ali Said di kantor PPATK, Jakarta, Selasa (19/12).

(Baca: PPATK Kumpulkan Data Transaksi Keuangan Terkait Paradise Papers)

Berdasarkan hasil survei juga diketahui bahwa tiga karakteristik perbuatan utama TPPU yang paling dipahami publik adalah penggunaan dana atau harta hasil kejahatan untuk membeli aset properti (7,04), menyimpannya di tempat tersembunyi (6,93), dan guna membeli kendaraan bermotor (6,93).

Adapun, publik menilai bahwa tiga profil utama pelaku TPPT adalah pengusaha (5,32), pengurus ormas (5,11), dan anggota partai politik (4,99). Sumber utama TPPT berasal dari dana luar negeri (7,17), hasil kejahatan (7,08), dan penyimpangan yang dikumpulkan melalui ormas (5,96).

Publik pun menilai jika TPPT dilakukan dengan pemberian pendanaan berupa fasilitas ke pelaku teror (6,34), melalui penyelenggara transfer dana tunggal (6,20), dan transfer perbankan (6,17).

"Publik meyakini bahwa faktor pendorong TPPT adalah belum efektifnya upaya penegakan hukum di Indonesia (7,02), belum efektifnya pengawasan pelaksanaan aturan dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme (7,01), dan berkembangnya gerakan dan pola pikir radikalisme yang mengatasnamakan keyakinan tertentu (6,98)," kata Ali.

Sementara, nilai IPP APU-PPT secara keseluruhan mencapai 5,31, atau meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar 5,21. (Baca: Badan Usaha Akan Diwajibkan Melaporkan Identitas Pemiliknya)

Peningkatan ini disebabkan naiknya skor IPP TPPU dari sebelumnya sebesar 5,52 pada 2016 menjadi 5,57 pada 2017. Hal yang sama juga terhadap IPP TPPT yang naik dari sebelumnya 4,89 pada 2016 menjadi 5,06 pada 2017.

Kendati demikian, angka ini dinilai masih belum memuaskan. Pasalnya, skor tersebut masih jauh dari skor maksimum yang ditetapkan.

"Karena itu, untuk meningkatkan indeks persepsi publik terhadap TPPU dan TPPT di masa mendatang perlu diberikan rekomendasi kunci yaitu melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terhadap pemahaman karakteristik TPPU dan TPPT," kata Ali.

Survei ini melibatkan 11.040 responden yang tersebar di 34 provinsi Indonesia. Indeks ini dihitung secara terpisah untuk TPPU dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) yang masing-masing ditimbang berdasarkan 114 dan 67 indikator.

(Baca: Pemerintah Persiapkan Diri Jadi Anggota Lembaga Antipencucian Uang)

Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...