Divonis 5 Tahun, Miryam Dianggap Terbukti Beri Keterangan Palsu e-KTP
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis anggota DPR RI dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani dengan pidana lima tahun penjara. Miryam diwajibkan membayar denda sebesar Rp 200 juta subsidair tiga bulan penjara. Hukuman ini lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).
"Mengadili, menyatakan terdakwa Miryam S Haryani secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam perkara tindak pidana korupsi," kata Ketua Majelis Hakim Franky Tambuwun di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (4/9).
Jaksa penuntut KPK sebelumnya menuntut Miryam pidana delapan tahun penjara dan membayar denda Rp 300 juta subsidair enam bulan kurungan.
(Baca: KPK Putar Video Rekaman Pengakuan Miryam Diintimidasi Anggota DPR)
Miryam terbukti melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Miryam dinilai terbukti bersalah memberikan keterangan tidak benar saat sidang perkara korupsi pengadaaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012. Hakim menyatakan, alat bukti dan keterangan saksi yang telah dihadirkan di persidangan membuktikan Miryam tidak berada dalam tekanan dan ancaman saat dimintai keterangan oleh penyidik KPK.
Pada persidangan kasus e-KTP pada 23 Maret 2017 Miryam mencabut keterangannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanggal 1 Desember 2016, 7 Desember 2016, 14 Desember 2016, dan 24 januari 2017. BAP yang telah ditandatangani itu dicabut dengan alasan isinya tidak benar karena merasa ditekan dan diancam penyidik KPK.
(Baca: Rekaman Diputar di Sidang, Pemeriksaan Miryam Tampak Berjalan Santai)
Namun, pada sidang lanjutan dihadirkan tiga orang penyidik KPK, Novel Baswedan, Irwan Susanto, dan Ambarita Damanik untuk mengonfrontir pernyataan Miryam. Ketiganya menyatakan tidak pernah memaksa dan mengancam.
Bahkan, penyidik memberikan waktu istirahat dan makan siang terhadap Miryam selama pemeriksaan. Miryam juga diberikan kesempatan membaca, mengoreksi, dqn merevisi sebelum menandatangani BAP.
Bahwa pernyataan terdakwa yang mengatakan ditekan dan diancam adalah berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan ketiga penyidik," kata Hakim Anggota Anwar.
Berdasarkan alat bukti rekaman pemeriksaan sebanyak empat kali, ahli psikologi forensik juga tidak menemukan tekanan terhadap Miryam. Pasalnya, Miryam dapat menjawab secara panjang lebar meski pertanyaan yang diajukan penyidik singkat.
"Dapat disimpulkan tidak ditemukan adanya tekanan," kata Hakim Anggota Anwar. (Baca: KPK Tak Hadirkan Miryam di Rapat Hak Angket, DPR Meradang)
Hakim pun menilai bantahan Miryam terkait adanya penerimaan uang dari Sugiharto terkait pembahasan proyek e-KTP di DPR RI berbanding terbalik dengan keterangan Irman, Sugiharto, Yosep Sumartono, dan Vidi Gunawan. Keempatnya menyatakan bahwa terdapat penerimaan uang oleh Miryam selama empat kali sebesar US$ 500 ribu, US$ 100 ribu, Rp 5 miliar, dan Rp 1 miliar.
"Di mana uang tersebut diantar Sugiharto ke rumah terdakwa Miryam S Haryani di Tanjung Barat serta sebesar Rp 1 miliar yang diserahkan Yosep Sumartono kepada asisten terdakwa. Maka dengan demikian bantahan tersebut tidak memiliki alasan hukum," kata Anwar.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai hal yang memberatkan Miryam karena tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara hal yang meringankan Miryam adalah karena yang bersangkutan dianggap sopan dan belum pernah dihukum sebelumnya.