Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan

Ameidyo Daud Nasution
26 April 2017, 17:35
Megawati
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Kasus dugaan penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru seiring keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan status penyidikannya dan menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung sebagai tersangka. Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut mengomentari kasus tersebut dan kaitannya dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Pangkal soalnya, masalah BLBI ini terjadi pada masa jabatan Presiden Megawati. Kala itu, Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang memberi kewenangan BPPN untuk menerbitkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham / surat keterangan lunas (SKL) kepada para obligor. Salah satunya kepada konglomerat Sjamsul Nursalim, yang kini menyebabkan Syafruddin menjadi tersangka.

Namun, Jokowi meminta agar persoalan BLBI tersebut dibedakan antara kebijakan dengan pelaksanaannya. Menurut dia, seorang Presiden pasti akan mengeluarkan kebijakan berupa Inpres, Keputusan Presiden (Keppres), serta Peraturan Presiden (Perpres) untuk merespons suatu kondisi tertentu.

Hal ini berbeda dengan aspek pelaksanaan dari suatu kebijakan tersebut. "Yang paling penting bedakan mana kebijakan dan pelaksanaan," kata Jokowi usai menghadiri acara Inacraft 2017 di Jakarta, Rabu (26/4). (Baca: Syafruddin Temenggung Jadi Tersangka Kasus BLBI Sjamsul Nursalim)

Terkait pelaksanaan kebijakan tersebut, Jokowi meminta masalahnya dikonfirmasikan langsung kepada KPK yang saat ini menangani kasus tersebut. "Kalau pelaksanaan itu wilayah berbeda, silakan ditanya ke KPK."

KPK telah menetapkan Syafruddin Arsjad Temenggung sebagai tersangka kasus BLBI dan meningkatkan kasusnya ke tahap penyidikan, Selasa kemarin. Dugaan korupsi atas mantan Kepala BPPN itu terkait penerbitan SKL kepada obligor BLBI, Sjamsul Nursalim.

“KPK menetapkan SAT (Syafruddin) sebagai tersangka, selaku Kepala BPPN (ia) diduga sudah menguntungkan diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konfrensi pers di Gedung KPK, Selasa (25/4).

Sjamsul saat itu merupakan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Bank tersebut merupakan salah satu yang mendapat SKL BLBI senilai Rp 27,4 triliun.

(Galeri Foto: Sambutan Istimewa bagi Samadikun, Buronan 13 Tahun BLBI)

Secara lebih rinci, Basaria menjelaskan konstruksi perkara yang terjadi bermula saat Syafruddin menjabat sebagai Kepala BPPN pada April 2002. Saat itu, restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.

Namun, Syafruddin menerbitkan surat lunas meski dari hasil restrukturisasi tersebut hanya Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable. "Maka, atas penerbitan surat itu, mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 3,7 triliun," ujar Basaria.

Syafruddin diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Pasal-pasal itu mengatur tindakan korupsi, menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau korporasi, secara bersama-sama dan melawan hukum.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...