Kementerian ESDM Periksa Cost Recovery Limbah Chevron
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memeriksa cost recovery atau penggantian biaya operasi yang diberikan kepada Chevron Indonesia terkait pengolahan limbah hasil operasional di Blok Rokan, Riau. Hal ini menindaklanjuti pertanyaan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat kerja dengan Kementerian ESDM pada Senin lalu (19/9).
Pelaksana tugas Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan mencari tahu apakah dana yang diusulkan penggantiannya itu benar atau tidak. Caranya dengan menentukan benchmark atau standar pengolahan limbah. (Baca: Anggaran Cost Recovery Migas Tahun Depan Melonjak 24 Persen)
Setelah itu, Kementerian ESDM akan melibatkan pihak ketiga untuk mengkajinya. “Kalau sudah ada, cari dan sewa konsultan yang benar, orang asing juga untuk mengecek tadi itu,” kata Luhut usai rapat di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (22/9).
Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota Komisi VII kembali mempertanyakan cost recovery untuk Chevron Indonesia. Anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah mempersoalkan anggaran yang diminta Chevron untuk cost recovery di Blok Rokan sebesar US$ 1,3 miliar. Namun,30 persen dari dana tersebut dialokasikan untuk menangani limbah Chevron.
Menurut Inas, seharusnya ada standardisasi dan formula perhitungan pengolahan limbah tersebut. Tujuannya supaya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. “Tapi ini tidak, Chevron memasukkan saja angka US$ 315 juta. Ini untuk berapa ton?" kata dia dalam rapat kerja Komisi VII DPR tersebut. (Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)
Selain Inas, Anggota Komisi VII DPR lainnya, Satya Widya Yudha, juga mengkritisi hal serupa. Menurut dia, Chevron menghabiskan dana hingga Rp 12 triliun per tahun untuk mengevaluasi tanah yang terkontaminasi minyak dari Blok Rokan.
Padahal, tanah tersebut nantinya dijual kepada pabrik semen, seperti Semen Tonasa, Semen Padang dan Semen Indonesia. Pabrik semen ini menjadikan tanah itu bahan bakar pengganti batubara, sekaligus bisa menjadi adukan dalam semen.
Untuk itu, Satya meminta agar dana tersebut tidak ditagihkan kepada negara. “Kalau Rp 12 triliun dikeluarkan hanya untuk memindahkan dari tanah terkontaminasi minyak tadi, kenapa kita tidak bikin pabrik semen saja?” kata dia.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi belum bisa memastikan anggaran cost recovery untuk Chevron dalam pengolahan limbah tersebut. Bahkan, angka cost recovery yang disebutkan Inas berbeda dengan data yang dimiliki Amien. "Untuk tanah yang terkena limbah itu anggarannya US$ 319 juta untuk tahun depan, volumenya kami cek dulu," kata dia. (Baca: DPR Tuding Riset Chevron Merugikan Negara)
Sementara itu, manajemen Chevron belum bisa berkomentar mengenai masalah tersebut. Hingga berita ini ditulis, Senior Vice President Strategic Business Support Chevron Yanto Sianipar belum merespons pesan singkat yang disampaikan Katadata.