Indonesia Akan Bangun Kilang Mini di Tengah Laut Pertama di Dunia
Pemerintah berencana membangun kilang minyak mini berkapasitas sekitar 20 ribu barel per hari (bph) di kawasan Laut Natuna, Kepulauan Natuna. Apabila rencana itu terwujud, Indonesia akan menjadi negara pertama yang memiliki kilang minyak mini di tengah laut.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, kapasitas kilang minyak mini disesuaikan dengan produksi minyak Blok East Natuna. Yaitu sekitar 7.000 hingga 15.000 barel per hari. (Baca: Pengembangan Blok East Natuna Hadapi Tiga Tantangan)
Rencananya, kilang minyak mini akan di bangun di tengah laut di ujung Kepulauan Natuna. “Selain agar dapat digunakan bersama-sama dengan blok migas lainnya, pembangunan kilang juga dilakukan demi kedaulatan negara,” kata dia, seperti dikutip dari situs Direktorat Jenderal Migas, Jumat (5/8).
Menurut dia, faktor teknologi tidak menjadi masalah karena telah tersedia. Meskipun belum ada negara yang membangun kilang minyak mini di tengah laut karena biayanya relatif mahal. Terutama jika dibandingkan dengan pembangunan kilang di darat.
“Membangun kilang di tengah laut itu, keuntungannya kecil banget. Malahan mungkin tidak ada untung. Semakin besar kilang yang dibangun, semakin enak untuk profit,” ujar Wiratmaja.
Kebutuhan dana untuk membangun kilang mini di tengah laut lebih dari Rp 250 miliar. Investasi untuk pembangunan kilang minyak mini ini awalnya akan ditawarkan kepada badan usaha. Apabila tidak ada yang berminat, maka pembangunan kilang menggunakan dana pemerintah.
Pemerintah memang berencana memproduksi terlebih dahulu cadangan minyak di Blok East Natuna. Selanjutnya, baru memproduksi gas. Blok East Natuna memiliki dua level, yakni level atas merupakan gas dan level bawah adalah minyak. (Baca: Blok East Natuna Bisa Produksi Minyak Tiga Tahun Lagi)
Wiratmaja memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi minyak itu sekitar tiga tahun atau tahun 2019. Produksi minyak ini untuk kebutuhan di sekitar Natuna, antara lain untuk bahan bakar kapal Tentara Nasional Indonesia.
Cadangan gas di East Natuna diperkirakan empat kali lipat dari Blok Masela. Tapi, memiliki kandungan karbondioksida mencapai 72 persen. Jadi, pengembangan gas ini membutuhkan kajian teknologi dan kajian pasar oleh Pertamina selama dua tahun. Namun Pemerintah meminta agar kajiannya dipercepat menjadi 1,5 tahun. Alhasil, kontrak bagi hasil yang baru dapat ditetapkan tahun depan.
Untuk memasu pengembangan blok itu, pemerintah sedang menyiapkan beberapa insentif. Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua, jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil minyak dan gas bumi dari blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak.