Tembak Kapal Ikan, TNI Curigai Rencana Cina Perluas Wilayahnya
Insiden penembakan kapal penangkap ikan berbendera Cina oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), memanaskan hubungan kedua negara. Pemerintah Cina melayangkan protes terhadap insiden tersebut. Sedangkan TNI Angkatan Laut (AL) mencurigai aktivitas kapal penangkap ikan itu di wilayah perairan Indonesia sebagai upaya pemerintah Cina memperluas wilayah kekuasaannya di Laut Cina Selatan.
Indikasinya, menurut Panglima Armada Barat TNI AL Laksamana Muda A. Taufiq R, kapal penangkap ikan itu mendapatkan pengawalan dari kapal Cina yang lain. “Kami menduga ini adalah aktivitas yang terstruktur. Artinya, mereka mendapat restu dari pemerintah Cina,” kata Taufiq seperti dilansir Bloomberg, Selasa (21/6).
Ia menjelaskan, kapal perang TNI AL melepaskan tembakan saat kapal penangkap ikan asal Cina itu menolak berhenti. Namun, TNI AL mengklaim tidak ada korban luka-luka maupun korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi di Kepulauan Natuna, akhir pekan lalu itu. Sedangkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan, sebanyak tujuh awak kapal itu kini ditahan pemerintah Indonesia. (Baca: Insiden Ketiga Kali di Laut Cina Selatan, TNI Tembak Kapal Cina)
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Cina mengklaim para nelayan tersebut sedang berada di wilayah yang biasa menjadi lokasi penangkapan ikan mereka. Jadi, insiden itu terjadi karena adanya tumpang tindih pengakuan atas wilayah perairan itu oleh Cina dan Indonesia. (Grafik: Cina Menghadang, Susi Meradang)
Taufiq menjelaskan, Cina melayangkan protes karena menganggap wilayah tersebut sebagai kepemilikannya. Sebelumnya, pada awal tahun ini, sudah ada beberapa kapal penangkap ikan asal Cina yang terdeteksi masuk perairan Indonesia. Pada Maret lalu, Indonesia menahan awak kapal pengangkap ikan dalam sebuah baku hantam yang juga melibatkan kapal penjaga pantai Cina.
Menurut Taufiq, masalah tersebut harus segera diselesaikan. Jika tidak, Cina akan memberikan klaim sepihak atas wilayah perairan itu.
Periset dari Lowy Institute for International Policy di Sidney, Australia, Aaron Connelly, melihat pemerintah Indonesia mulai mengevaluasi kembali kebijakannya terhadap sengketa Laut Cina selatan. "Meskipun saat ini belum ada kebijakan baru,” katanya. Sebab, Cina merupakan mitra dagang terbesar Indonesia sekaligus sumber investasi yang sangat diperhitungkan.
Sekadar informasi, Cina mengklaim lebih dari 80 persen wilayah Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya. Yang menjadi dasar klaim adalah peta perbatasan tahun 1940.
Di sisi lain, Indonesia belum melakukan tuntutan formal dan berusaha netral dalam persoalan ini. Belakangan, pada April lalu, Indonesia menyatakan akan mengirim pesawat tempur F-16 buatan Amerika Serikat untuk melindungi Kepulauan Natuna dari para pencuri ikan.
Indonesia sudah menahan setidaknya 57 kapal di Natuna dalam tahun ini karena kedapatan mencuri ikan. Hal ini disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Tiga di antaranya merupakan kapal Cina, sedangkan sebanyak 49 kapal berbendera Vietnam. (Grafik: Kenapa Kapal Cina Incar Natuna?)
Susi mengatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap kapal penangkap ikan asal Cina. “Kami tetap menahan mereka, meski mereka berkebangkasaan Thailand, Cina atau Amerika Serikat sekalipun. Tetangga yang baik tidak akan melakukan pencurian,” ujarnya.
Paspor yang diterbitkan Cina pada 2012 menunjukkan adanya perbatasan wilayah territorial di zona ekonomi eksklusf Indonesia dengan adanya Kepulauan Natuna. Wilayah ini memiliki kekayaan gas alam serta cadangan energi lainnya. Pengadilan internasional rencananya akan mengeluarkan putusan atas tuntutan Filipina terhadap Cina yang mengklaim kawasan perairan itu.
Melalui pengadilan arbitrase internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Belanda, Cina berniat memperkuat keberadaannya di Laut Cina Selatan dan mengakuinya sebagai perairan tradisional negara tersebut. “Saya tidak tahu cara berpikir mereka. Namun secara logis, hasil sidang diumumkan sebelum mereka menyatakan klaim mereka di sana,” kata Taufiq.