Potensi Migas Laut Dalam Sepi Peminat
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N Wiratmaja Puja mengaku ladang migas laut dalam di Timur Indonesia masih jarang diminati pelaku usaha hulu migas. Padahal, potensi migas di wilayah tersebut cukup besar.
"Kemarin saya presentasi di London. Mereka kaget, kenapa selama ini laut dalam kita tidak banyak yang tengok," kata dia dalam konferensi pers saat forum tahunan pelaku usaha migas IPA di JCC Jakarta, Rabu (25/5).
Dia mencontohkan Norwegia, negara yang sukses mengembangkan potensi migas laut dalam. Banyak investor yang mau menanamkan modalnya di negara tersebt. Padahal, Norwegia memiliki kondisi laut dalam yang sangat sulit dijangkau untuk kegiatan operasi migas. (Baca: SKK Migas: Belum Ada Kontraktor Temukan Cadangan Ekonomis)
Wiratmaja mengakui bahwa kesuksesan Norwegia ini tidak lepas dari peran pemerintah yang membuat investor tertarik menanamkan modalnya. Saat ini pemerintah juga tengah menyiapkan sejumlah insentif agar investasi migas laut dalam di Indonesia bisa lebih kompetitif.
Salah satunya dengan memperpanjang masa eksplorasi bagi laut dalam. Pemerintah biasanya memberikan jatah waktu kepada kontraktor untuk melakukan eksplorasi paling lama 10 tahun. Nantinya masa eksplorasi akan ditambah menjadi 15 tahun. (Baca: Pemerintah Kaji Tambah Masa Eksplorasi Laut Dalam Jadi 15 Tahun
Insentif lainnya berupa perubahan split (bagi hasil) yang yang lebih besar untuk kontraktor migas di laut dalam. Porsi bagi hasil ini memang sering dikeluhkan investor migas yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Ini salah satu yang menyebabkan usaha migas di dalam negeri dianggap kurang menarik.
Berdasarkan riset Wood Mackenzie, Indonesia menjadi negara dengan porsi migas pemerintah paling besar kedua dari 10 negara. Indonesia mengambil porsi migas pemerintah sebesar 81 persen, lebih tinggi satu persen dari Malaysia, dan empat persen dari Norwegia. (Baca: Jatah Negara Terlalu Besar, Investasi Migas Kurang Menarik)
Ada beberapa opsi skema bagi hasil yang sedang dipertimbangkan pemerintah untuk lapangan migas laut dalam. Yakni dengan menggunakan sistem Dynamic Split atau Sliding Scale Revenue Over Cost (R/C). Melalui skema itu, bagi hasil pemerintah ataupun kontraktor akan berfluktuatif. Jika harga minyak dunia masih rendah, bagi hasil yang didapatkan pemerintah lebih sedikit.
Menurutnya perubahan bagi hasil ini akan menyesuaikan dengan kondisi lokasi laut dalam yang dikerjakan kontraktor. Namun, dia masih belum mau membocorkan berapa kisaran perubahan bagi hasil yang akan diterapkan. Dia berharap dengan adanya perubahan skema bagi hasil ini, kontraktor semakin bersemangat menggarap potensi migas laut dalam di Timur Indonesia. (Baca: Pemerintah Tolak Permintaan Insentif Chevron di Proyek IDD)