Jejak Taipan dan Jejaring Politisi di Blok Mahakam
KATADATA ? Nama-nama ?besar? mulai terdengar sayup-sayup di balik riuhnya tarik-menarik negosiasi perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Selain jejaring politisi, ada juga jejak pengusaha kakap yang dikabarkan ikut mengincar bagian hak partisipasi untuk daerah di ladang migas Kalimantan Timur itu.
Jauh-jauh hari, pemerintah memang sudah memberi sinyal bakal memberi jatah hak partisipasi atau participating interest (PI) kepada pemerintah daerah Kaltim, setelah kontrak Blok Migas yang kini dikuasai Total E&P Indonesie (Prancis) dan Inpex Corporation (Jepang) ini berakhir pada 2017.
Alokasi itu tampaknya mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi?meski sebenarnya hanya berlaku untuk pengembangan blok migas baru.
Dalam Peraturan itu disebutkan bahwa saat sebuah blok baru akan beroperasi, Pemda melalui BUMD mendapat hak pertama untuk ditawari hak partisipasi 10 persen. Apabila BUMD tidak sanggup membeli, barulah hak itu akan ditawarkan kepada perusahaan nasional lain.
Sejauh ini, memang belum ditetapkan berapa besar Pemda akan mendapat bagian hak partisipasi di Blok Mahakam. Yang jelas, jatah itu nantinya akan dibagi antara Pemerintah Provinsi Kaltim (40 persen) dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (60 persen).
Persoalannya kemudian, dari mana sumber dana Pemda untuk membiayai pengambilalihan hak partisipasi yang nilainya triliunan rupiah itu? Karena Pemda tak punya dana, pilihannya adalah menggandeng investor atau diberikan pinjaman oleh PT Pertamina (Persero), yang sudah ditetapkan pemerintah untuk mengambil alih dulu 100 persen hak partisipasi pada 2017 mendatang.
Terkait soal peluang masuknya pemodal swasta inilah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sudah mewanti-wanti agar Pemda nantinya tidak menjadi alat bagi kepentingan segelintir pihak yang ingin memperoleh ?kue? pengelolaan blok migas itu.
?Boleh kerjasama dengan swasta, tapi jangan cuma dijadikan nama, kemudian yang menikmati keuntungan bukan daerah,? kata Sudirman, Januari lalu.
Siapa Mitra Daerah?
Ancang-ancang Daerah untuk bisa mendapatkan porsi pengelolaan di Blok Mahakam sesungguhnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Sekitar lima tahun lalu, tepatnya pada 21 Januari 2010, Pemprov Kaltim mendirikan BUMD PT Migas Mandiri Pratama (MMP).
PT MMP ini kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu PT Yudistira Bumi Energi. Kedua perusahaan ini pada 1 Desember 2010 kemudian membentuk perusahaan patungan bernama PT Cakra Pratama Energi. Dalam akta pendiriannya disebutkan bahwa PT Yudistira memegang 80 persen saham. Sedangkan Pemprov Kaltim melalui PT MMP menguasai 20 persen saham.
Direktur PT MMP Hazairin Adha kepada media saat itu mengatakan, PT Yudistira siap menyediakan dana agar Pemprov Kaltim bisa mendapatkan haknya di Blok Mahakam. Diperkirakan jumlah dana yang dibutuhkan sekitar Rp 6 triliun.
Dana sebesar itu, menurut Hazairin, tidak seluruhnya akan diambil dari kocek PT Yudistira. Melainkan akan ada kucuran dana dari Morgan Stanley, perusahaan jasa finansial asal Amerika Serikat.
Pemkab Kukar tak kalah gesit. Untuk memuluskan jalannya, Pemkab Kukar diwakili oleh PT Tunggang Parangan, anak usaha BUMD PT Tiling Madang. Seperti halnya Pemprov Kaltim, Pemkab Kukar juga menggandeng perusahaan swasta, yakni PT Cakrawala Prima Utama.
Siapa dan bagaimana rekam jejak perusahaan-perusahaan swasta itu, sejauh ini tak banyak dikenal di kalangan industri migas. Namun, berdasarkan penelusuran Katadata, terdapat sejumlah fakta menarik di balik keberadaan para calon investor itu.
Dari dokumen perusahaan, diketahui bahwa PT Yudistira baru didirikan pada 23 Desember 2009. Namun, hanya berselang setahun, namanya sudah cukup nyaring terdengar di bumi Borneo.
Musababnya, media saat itu mulai santer memberitakan adanya kerjasama antara Pemprov Kaltim dan PT Yudistira, terhitung sejak Oktober 2010. Ini berarti, hanya kurang dari setahun sejak berdiri, PT Yudistira sudah bisa meyakinkan Pemprov dan DPRD Kaltim untuk dipilih sebagai mitra investor di Blok Mahakam.
Dalam akta pendirian perusahaan disebutkan pula bahwa PT Yudistira dipimpin oleh Yulius Isyudianto sebagai Direktur Utama dan Soejanto sebagai Komisaris. Keduanya masing-masing memegang 50 persen saham perusahaan. Pada Desember 2010, akta PT Yudistira mengalami perubahan, dan muncul nama baru di jajaran direksi, yaitu Andreyanto Toemali.
Jejaring Politisi PDI-P
Sempat santer diberitakan bahwa ?bintang terang? PT Yudistira Bumi Energi tak lepas dari jejaring politik yang dimilikinya. Salah satu isu yang berhembus, yaitu ihwal kedekatan Yulius dengan mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung, yang pernah menjabat Wakil Ketua DPR.
Isu ini dipicu oleh posisi Pramono yang sempat menjadi Komisaris di PT Yudistira Hana Perkasa dan Yudistira Haka Perkasa pada 1996 hingga 1999. Spekulasi ini pun kian menguat lantaran di situs jaringan sosial Linkedin terdapat akun atas nama Yulius Isyudianto dengan jabatan sebagai Direktur PT Yudistira Hana Perkasa.
Terhadap kabar ini, Pramono sudah beberapa kali membantahnya. ?Sejak terjun ke politik, saya tidak lagi di dunia usaha,? ujarnya seperti dikutip majalah Tempo, 15 Oktober 2010.
Di majalah yang sama edisi 12 April 2015, Pramono kembali menyatakan bahwa dia dulu memang memiliki usaha di sektor energi di bawah Grup Yudistira. ?Tapi, bukan Yudistira yang sama,? ujarnya. Ia pun menyatakan telah keluar dari perusahaan itu pada 1998.
Politisi PDI-P lainnya yang dikabarkan juga memiliki kedekatan dengan Yulius dan Soejanto yaitu mantan Bendahara PDI Perjuangan Syarif Bastaman. Hal ini setidaknya terekam dalam situs PT Syabas Energy milik Syarif dengan alamat www.syabasenergy.com. Di sana tercantum nama Yulius dan Soejanto sebagai Wakil Presiden PT Syabas Energy.
Kepanjangan Tangan Konglomerasi?
Selain jejaring politisi, penelusuran Katadata juga menemukan jejak konglomerasi di balik upaya Pemprov Kaltim mendapatkan hak partisipasi Blok Mahakam. Jejak itu bisa dilihat dari akta pendirian PT Cakra Pratama Energi, perusahaan patungan BUMD Pemprov Kaltim dengan PT Yudistira.
Di akta itu tercantum nama Hungkang Sutedja dan Tri Ramadi di jajaran komisaris. Hungkang Sutedja saat ini adalah Presiden Direktur PT Bekasi Fajar Industrial Estate. Sedangkan Tri Ramadi, ketika akta perusahaan Cakra Pratama dibuat, menjabat sebagai Presiden Direktur PT Alam Sutera Realty.
Pada Januari 2014, Tri Ramadi menjadi Presiden Direktur PT Alfa Goldland Realty yang merupakan anak usaha dari Alam Sutera. Baik Bekasi Fajar Industrial Estate maupun Alam Sutera berada di bawah naungan kelompok usaha Argo Manunggal, milik konglomerat The Ning King.
Majalah Forbes Asia pada 2014 menempatkan The Ning King di peringkat 46 dalam daftar orang terkaya Indonesia.
Di jajaran direksi PT Cakra Pratama, muncul kembali nama Andreyanto Toemali sebagai Direktur Utama dan Yulius Isyudianto sebagai Direktur. Baik Andreyanto maupun Yulius juga memiliki kedekatan dengan Argo Manunggal.
Andreyanto dan Yulius pernah menjabat sebagai Direktur di perusahaan kemasan plastik PT Alam Karya Unggul. Sejak berganti nama dari Aneka Kemasindo pada 2011, jajaran komisaris atau direksi PT Alam Karya Unggul diisi eksekutif dari perusahaan Grup Argo Manunggal.
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham pada Juni 2011 umpamanya, di jajaran direksi PT Alam Karya Unggul, selain Andreyanto dan Yulius, muncul nama Wilson Effendy. Wilson ketika itu adalah Direktur di PT Bekasi Fajar Industrial Estate. Di posisi komisaris muncul pula nama Tri Ramadi dan Hungkang Sutedja.
Direktur Utama Cakra Pratama Energi Andreyanto Toemali menolak berkomentar banyak mengenai indikasi Argo Manunggal berada di balik upaya Pemprov Kaltim mendapatkan hak pengelolaan Blok Mahakam.
Ia menjelaskan, dirinya sudah tidak lagi menjabat di PT Alam Karya Unggul. Ia pun mengaku tidak mengetahui apakah ada upaya Argo Manunggal untuk mendapatkan bagian kepemilikan di Blok Mahakam. ?Argo Manunggal perusahaannya banyak. Saya tidak tahu mereka ikut membiayai Blok Mahakam,? kata Andreyanto.
Komisaris Cakra Pratama Energi Tri Ramadi juga tidak mau berkomentar mengenai proses lebih lanjut untuk mendapatkan saham di Blok Mahakam. Alasannya, dirinya tidak berwenang menjelaskan soal Blok Mahakam.
Lain lagi dengan Direktur Keuangan PT Migas Mandiri Pratama Hazairin Adha. Ia mengatakan tidak ambil pusing siapa di balik PT Yudistira, termasuk ada tidaknya Grup Argo Manunggal.
?Mungkin ada kaitannya atau hanya ikut nama saja,? ujar Hazairin yang pernah menjabat Kepala Dinas Pendapatan Pemprov Kaltim. ?Yang pasti, kami hanya bermitra dengan Yudistira.?