Iuran BPJS Naik, DPR: Pemerintah Tidak Peka Terhadap Kondisi Rakyat
Keputusan pemerintah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan terus menuai kritik dan desakan untuk membatalkan kebijakan tersebut. Kali ini, kritik datang dari lembaga legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR, Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto mengatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak tepat di masa pandemi virus corona (Covid-19) ini. Pasalnya, kenaikan ini akan makin memberatkan hidup rakyat yang saat ini tengah kesusahan menghadapi pandemi Covid-19.
Selain itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga dinilai bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya MA telah membatalkan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, karena dibilai bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS.
"Harusnya pemerintah mengeluarkan Perpres sesuai putusan MA saja. Bukan membuat aturan baru yang membuat rakyat resah," kata Mulyanto, melalui keterangan tertulis, Kamis (14/5).
Kondisi saat ini juga dipandang seharusnya membuat Pemerintah lebih peka terkait situasi ekonomi masyarakat, karena fokus saat ini adalah bertahan dari pandemi corona.
Terhentinya beberapa aktivitas ekonomi, disertai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) dilpandang Mulyanto, seharusnya sudah cukup meyakinkan pemerintah, bahwa saat ini tidak tepat mengeluarkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
(Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan Mulai 1 Juli, Ini Rinciannya)
Senada dengan Mulyanto, Aggota Komisi IX DPR Obon Tabroni juga mengungkapkan, keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak tepat saat ini. Menurutnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru beberapa bulan lalu dibatalkan oleh MA, sehingga tidak tepat jika kini pemerintah justru mengeluarkan putusan yang bertentangan.
"Kenaikan ini sekaligus mencerminkan jika pemerintah tidak menghormati keputusan pengadilan yang bersifat inkracht. Hal ini akan memberi contoh buruk, karena masyarakat bisa tidak lagi menghargai putusan lembaga yudikatif," ujarnya.
Seperti diketahui, pada Rabu (13/5), pemerintah memutuskan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Meski dalam aturan ini pemerintah resmi membatalkan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan sebelumnya yang mencapai hingga 100%, iuran bagi peserta mandiri kelas 1 dan 2 tetap berlaku mulai 1 Juli 2020.
Dalam pasal 34 aturan tersebut dijelaskan bahwa besaran iuran untuk peserta mandiri kelas III sama dengan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan, yakni Rp 42 ribu per bulan. Khusus tahun ini, peserta mandiri hanya perlu membayar Rp 25.500 per orang per bulan, sisanya sebesar Rp 16.500 ditanggung pemerintah.
(Baca: Naik-Turun Angka Iuran BPJS Kesehatan di Era Jokowi)
Namun, tahun depan dan selanjutnya peserta mandiri akan membayarkan iuran sebesar Rp 35 ribu dan pemerintah akan membayarkan sisanya Rp 7 ribu.
Keputusan ini segera mengundang kritik, karena dianggap tidak berpihak pada rakyat yang kini tengah kesulitan karena adanya pandemi corona. Sejumlah usulan untuk mengatasi permasalahan iuran pun dikemukakan.
Salah satunya dari Ekonom Senior Faisal Basri, yang menyatakan anggaran untuk BPJS Kesehatan dapat diambil pemerintah dengan memangkas belanja kementerian secara maksimal, terutama dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
"Sangat bisa iuran BPJS Kesehatan tidak dinaikkan," kata Faisal dalam Webinar Iluni UI, Rabu (13/5).
Faisal mengatakan, pemangkasan belanja sejumlah kementerian masih sedikit. Misalnya, anggaran Kemenhan hanya dipangkas Rp 8,73 triliun atau 6,65% dari total anggaran Rp 131,1 triliun sehingga menjadi Rp 122,4 triliun.
Padahal, anggaran belanja senjata dapat ditunda di tengah masa pandemi virus corona atau Covid-19. Faisal juga menilai anggaran beberapa kementerian lain pun dapat digeser untuk menutup defisit BPJS.
(Baca: Faisal Basri Usul Iuran BPJS Diambil dari Dana Kementerian Pertahanan)