Kaburnya Joko Tjandra Dianggap Kesalahan Kejaksaan Agung

Agatha Olivia Victoria
18 Juli 2020, 14:52
Ketua Majelis Hakim Nazar Effriandi (tengah) memimpin sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (6/7/2020). Pengadilan Ne
ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.
Ketua Majelis Hakim Nazar Effriandi (tengah) memimpin sidang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (6/7/2020). Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang tersebut karena Djoko Tjandra dikabarkan sakit.

Kejaksaan Agung dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kaburnya Joko Tjandra. Telah beberapa kali buron kasus Bank Bali tersebut keluar masuk Indonesia.

"Ini kebobolan, saya tidak tau kenapa kali ini begini,"kata Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Imam dalam diskusi yang digelar MNC Trijaya, Sabtu (18/7).

Menurut ia, hal tersebut terjadi karena lemahnya intelijen Kejaksaan Agung. Maka dari itu, dirinya berharap agar intelijen Kejaksaan Agung bisa lebih ketat dalam mengawasi pergerakan Joko Tjandra.

Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, Joko sempat berada di Indonesia pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Burhanuddin mengatakan informasi itu baru ia ketahui dan langsung mengklarifikasi kepada pengadilan.

"Saya menanyakan kepada Pengadilan bahwa (PK) itu didaftarkan di bagian Pelayanan Terpadu. Jadi identitasnya tidak terkontrol," kata Burhanuddin dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Senin (29/6) lalu.

Ia mengakui lolosnya Joko menunjukkan kelemahan deteksi intelijen kejaksaan. Namun, ia juga heran tak berfungsinya sistem pencekalan. Seharusnya, Joko tidak bisa masuk ke Indonesia."Bila sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus-menerus dan berlaku sampai tertangkap," ujarnya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan tidak ditemukan data dalam sistemnya mengenai keberadaan Joko. Ia juga membantah buronan itu sudah berada di Indonesia sejak April lalu. "Dari mana data bahwa dia tiga bulan di sini, tidak ada datanya kok. Di sistem kami tidak ada, saya tidak tahu bagaimana caranya," katanya beberapa waktu lalu.

Siapa Joko Tjandra?

Melansir dari Majalah TEMPO, Joko Tjandra kerap disebut raja bisnis perkantoran di era 1990-an.

Pada 1999 ia berurusan dengan Kejaksaan Agung untuk kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Sebagai bos PT Era Giant Prima, Joko bersama Setya Novanta diduga menggelapkan uang bank tersebut senilai Rp 546 miliar. Joko dituduh korupsi, dan ini bukan kali pertama.

Sebelumnya, ia juga menjadi tersangka kasus korupsi yang dilakukan PT Mulia Griya Indah. Joko meminjam US$ 50 juta ke BRI untuk membangun Mal Taman Anggrek II. Proyek itu gagal, tapi ia mengambil duitnya tanpa membayar cicilan.

Ada lagi kasus Hotel Mulia di kawasan mewah Senayan, Jakarta Pusat. Joko mendapatkan proyek membangun hotel bintang lima seiring dengan penyelenggaraan SEA Games XIX 1997 di Jakarta. Yang menawarinya proyek ini adalah Bambang Trihatmodjo (putra Presiden Soeharto), Bambang Soegomo, dan Enggartiasto Lukita.

Dua anak perusahaan Mulia Group, yaitu PT Mulia Intan Lestari dan PT Mulia Karya, memperoleh pinjaman dari Bank Bumi Daya (BBD), masing-masing sebesar US$ 75 juta dan US$ 50,45 juta. Pinjaman itu juga macet sehingga total tunggakannya mencapai US$ 150 juta.

Pada saat yang sama, Joko mengajukan kredit US$ 70 juta untuk membangun gedung perkantoran Wisma Mulia II di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Ia memakai anak usahanya yang lain, yaitu Karya Gemilang, sebelum dialihkan ke Mulia Intan Lestari.

Hotel Mulia berhasil ia selesaikan dalam waktu hanya sembilan bulan dan mendapat banyak pujian. Tapi dalam sekejap bisnisnya hancur karena krisis moneter 1997, utang pun tak terbayar.

BBD akhirnya menyerahkan kredit macet itu ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), namun Joko tak pernah memenuhi panggilan. Pemerintah akhirnya menempuh langkah hukum.

Pada Juni 2009, kejaksaan memenangkan pertimbangan kembali dan Joko Tjandra divonis bersalah dengan tuntutan dua tahun hukuman penjara dan denda Rp 15 juta. Selain itu, pengadilan memerintahkan Joko untuk mengembalikan hasil kejahatannya senilai Rp 546 miliar pada negara.

Sehari sebelum hakim mengeluarkan keputusan itu, Joko kabur ke luar negeri sehingga dirinya ditetapkan sebagai buronan. Ia kabur ke Papua Nugini dan dikabarkan sudah berstatus warga negara di sana.

Mengutip Kompas, adik Djoko Tjandra, dan seorang kerabatnya pernah menemui Presiden Joko Widodo di Papua Nugini. Ketika itu Presiden menghadiri jamuan malam kenegaraan bersama Perdana Menteri Papua Niugini Peter Charles Paire 0'Neill di Gedung Parlemen, Port Moresby, pada 11 Mei 2015.

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...