Sosok Desi Arryani, Mantan Dirut Jasa Marga Yang Jadi Tersangka KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tiga tersangka baru untuk proyek infrastruktur fiktif yang dilakukan di PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Ketiganya diduga secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan menggunakan proyek fiktif.
Tiga tersangka, yakni mantan Dirut PT Jasa Marga Desi Arryani (DSA), mantan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya yang juga Dirut PT Waskita Beton Precast Jarot Subana (JS), dan mantan Kepala Proyek dan Kepala Bagian Pengendalian pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya Fakih Usman (FU).
Desi Arryani menjabat direktur utama di PT Jasa Marga Tbk (JSMR) sejak 2016 hingga Juni 2020. Namun, ia diduga terlibat di kasus korupsi ini saat menjabat sebagai Kepala Divisi III/Sipil/II di Waskita Karya.
"Pada 2009, DSA saat itu menyepakati pengambilan dana dari PT Waskita Karya melalui pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif pada proyek-proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya," ujar Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Sebelum di Jasa Marga, Desi memang pernah berkarier di Waskita Karya. Di perusahaan konstruksi pelat merah itu, puncak kariernya adalah sebagai direktur operasional II pada periode 2011-2012 dan direktur operasional I pada 2013-2016.
Dilansir Bloomberg, Desi merupakan lulusan sarjana Teknik Sipil dari Universitas Indonesia pada tahun 1987, dan Magister Manajemen diperoleh dari Institut Manajemen Prasetya Mulya.
Dia mulai bekerja di PT Waskita Karya sebagai Staf Anggaran Kantor Pusat Project pada 1987. Di tahun 1991, Desi dipercaya menjadi Kepala Proyek Talud Benoa dan Kesempurnaan Irigasi Proyek Sabah Paket II di Buleleng.
Tak sampai di situ, dia pun diangkat menjadi Kepala Pemasaran di Kantor Cabang IX Denpasar pada tahun 1991-1997. Di periode yang sama, dia juga menjadi Kepala Proyek yang berhubungan dengan berbagai proyek sumber daya air di Cabang IX Denpasar.
Setelah itu, Desi dipromosikan menjadi Kepala Cabang NTB di Mataram dalam masa periode 1997-2001. Pada tahun 2002, Desi menjadi Wakil Kepala Daerah III Surabaya selama 3 tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan posisinya sebagai Kepala Divisi III di Jakarta hingga tahun 2008.
Dia pun dipilih sebagai Kepala Divisi Sipil di Jakarta pada tahun 2008-2009, dan akhirnya menjadi Kepala Divisi II di Jakarta di tahun 2009-2010. Sejak tahun 2010, dia sudah menjabat sebagai Direktur I Operasional PT Waskita Karya, hingga akhirnya Desi diangkat menjadi Direktur Utama PT Jasa Marga.
Konstruksi Perkara
Dalam pengembangan perkara ini, KPK pada 17 Desember 2018 lebih dahulu menetapkan dua tersangka, yaitu mantan Kepala Divisi II PT Waskita Karya periode 2011-2013 Fathor Rachman (FR) dan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya periode 2010-2014 Yuly Ariandi Siregar (YAS).
Kemudian, ketiga tersangka baru ditetapkan karena ketiganya terlibat dalam memutuskan proyek yang diperkarakan. Desi bahkan memimpin rapat koordinasi internal terkait penentuan subkontraktor, besaran dana, dan lingkup pekerjaannya.
"Selanjutnya DSA, FR, YAS, JS, dan FU melengkapi dan menandatangani dokumen kontrak dan dokumen pencairan dana terkait dengan pekerjaan," kata Firli.
Kemudian pada 2011, lanjut dia, Desi mendapatkan promosi menjadi Direktur Operasional PT Waskita Karya, dan Fathor juga dipromosikan menjadi Kepala Divisi III/Sipil/II menggantikan Desi.
"Atas permintaan dan sepengetahuan dari DSA, FR, YAS, JS dan FU kegiatan pengambilan dana milik PT Waskita Karya melalui pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut, dilanjutkan, dan baru berhenti pada 2015," katanya pula.
Firli menyatakan seluruh dana yang terkumpul dari pembayaran terhadap pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut selanjutnya digunakan oleh pejabat dan staf pada Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya untuk membiayai pengeluaran di luar anggaran resmi PT Waskita Karya.
"Pengeluaran di luar anggaran resmi tersebut di antaranya untuk pembelian peralatan yang tidak tercatat sebagai aset perusahaan, pembelian valuta asing, pembayaran biaya operasional bagian pemasaran, pemberian "fee" kepada pemilik pekerjaan (bowheer) dan subkontraktor yang dipakai, pembayaran denda pajak perusahaan subkontraktor serta penggunaan lain oleh pejabat dan staf Divisi III/Sipil/II," ujarnya lagi.
Selama periode 2009-2015, lanjut Firli, setidaknya ada 41 kontrak pekerjaan subkontraktor fiktif pada 14 proyek yang dikerjakan oleh Divisi III/Sipil/II PT Waskita Karya.
Sedangkan perusahaan subkontraktor yang digunakan untuk melakukan pekerjaan fiktif tersebut adalah PT Safa Sejahtera Abadi (SSA), CV Dwiyasa Tri Mandiri (DTM), PT MER Engineering (ME), dan PT Aryana Sejahtera (AS).
Sebanyak 14 proyek itu adalah proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir, Bekasi, Jawa Barat, proyek Banjir Kanal Timur (BKT) Paket 22, Jakarta, proyek Bandara Kualanamu, Sumatera Utara, proyek Bendungan Jati Gede, Sumedang, Jawa Barat, proyek Normalisasi Kali Pesanggrahan Paket 1, Jakarta, proyek PLTA Genyem, Papua, dan proyek Tol Cinere-Jagorawi (Cijago) Seksi 1, Jawa Barat.
Selanjutnya, proyek "fly over" Tubagus Angke, Jakarta, proyek "fly over" Merak-Balaraja, Banten, proyek Jalan Layang Non Tol Antasari-Blok M (Paket Lapangan Mabak), Jakarta, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) seksi W 1, Jakarta, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 2, Bali, proyek Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa Paket 4, Bali, proyek Jembatan Aji Tulur-Jejangkat, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
"Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif dalam rangka penghitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan total kerugian keuangan negara yang timbul dari kegiatan pelaksanaan pekerjaan subkontraktor yang diduga fiktif tersebut sejumlah Rp202 miliar," ujar Firli.