Perjuangan Melawan Pandemi Covid-19 dari Garis Depan

Dengan berbagai keterbatasan, tenaga kesehatan bertaruh nyawa untuk menangani pandemi Covid-19. Pemerintah daerah sibuk mendisiplinkan masyarakat. Mereka berada di garis depan perang melawan pandemi.
Image title
17 Agustus 2020, 10:10
Ilustrasi. Para tenga kesehatan dan pemerintah daerah berpacu dengan waktu dan risiko demi memerdekakan Indonesia dari Covid-19 di zona rawan.
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Para tenga kesehatan dan pemerintah daerah berpacu dengan waktu dan risiko demi memerdekakan Indonesia dari Covid-19 di zona rawan.

TAK ada aneka lomba dan pawai rakyat di pelosok negeri untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia tahun ini. Upacara dan pengibaran bendera merah-putih di  depan Istana Merdeka, Jakarta, juga hanya diikuti Presiden Joko Widodo bersama sekitar 20-an orang. HUT RI tahun ini memang jauh dari keramaian dan tanpa kemegahan, juga sedikit mencekam karena negeri ini sedang dilanda pandemi Covid-19.

Hampir enam bulan lamanya virus asal negeri Tiongkok tersebut sudah 'menjajah' Indonesia. Hingga 15 Agustus lalu, sekitar 137 ribu orang yang terinfeksi dan 6.000 orang meninggal dunia. Alih-alih berkurang, jumlah korbannya terus meningkat saban hari.

Harapan menemukan vaksin virus tersebut masih jauh di depan mata. Sementara, dampaknya sudah membuat ekonomi semaput, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), dan tingkat kemiskinan melejit. Ekonomi Indonesia pun kini di ambang resesi.

Upaya pemerintah memerangi Covid-19 tak kurang keras. Dana ratusan triliun dikucurkan untuk menangani pandeki sekaligus memulihkan perekonomian. Tak cuma pemerintah pusat dan daerah, semua lini bergerak agar Indonesia segera merdeka dari pandemi: tenaga kesehatan, perusahaan, ilmuwan dan akademisi hingga masyarakat umum.     

Para tenaga kesehatan mesti berhadapan dengan sejumlah kendala, dari yang ringan sampai mengancam nyawa. Deborah Johana Ratu, dokter Kepala Puskesmas di Kelurahan Pasir Kaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, menjadi sasaran amuk satu keluarga yang salah satu anggotanya reaktif Covid-19.

Saat itu Deborah datang untuk melakukan tes cepat atau rapid test kepada anggota keluarga lainnya. “Naon iyeu? (ada apa ini?). Puskesmas kenapa cari gara-gara?” ucap dr. Deborah menirukan pernyataan salah satu anggota keluarga saat menceritakan kejadian ini kepada Katadata.co.id, Sabtu (8/8).

Dengan sisa nyali dan tenaga di tengah teriknya matahari pukul 12 siang, Deborah berusaha menjelaskan kembali maksudnya. Bahwa, tes cepat adalah bagian protokol pelacakan kontak terdekat dengan seorang yang reaktif. Tujuannya memastikan kondisi kesehatan mereka dan mencegah penularan lainnya.

Penjelasannya tetap tak diterima. Salah seorang anggota keluarga justru mengajak berkelahi perawat yang turut bersama Deborah. Perdebatan pun terus berlanjut tanpa ujung dan keadaan semakin panas.

Sampai akhirnya, brak!, sebuah batu menghantam badan mobil ambulans yang digunakan rombongan ke rumah keluarga tersebut.

Deborah akhirnya mengalah. Ia dan rombongan kembali ke Puskesmas demi mencegah keributan yang lebih besar.  Padahal, pelacakan mesti tetap dilakukan karena Kecamatan Cicendo adalah lokasi pertama Covid-19 menginfeksi warga Kota Bandung.

Data Dinas Keshatan Kota Bandung yang diakses melalui laman covid19.bandung.go.id menyatakan, per 14 Agustus 2020, total 51 orang terkonfirmasi Covid-19 di Kecamatan Cicendo dan menjadi yang tertinggi di antara kecamatan lain. Lebih dari setengah jumlah tersebut berada di Kelurahan Pasir Kaliki.

Namun penolakan tak pernah menyurutkan Deborah melakukan pelacakan. Ia menyatakan sampai Juli telah melacak dan mengetes cepat lebih kurang 1800 orang di Puskesmasnya.

Hasilnya, data terbaru Dinas Kesehatan Kota Bandung menyatakan tak ada tambahan pasien terkonfirmasi Covid-19 di Kelurahan Pasir Kaliki dan hanya 2 kasus yang masih aktif di Kecamatan Cicendo. 

Ketegangan dengan keluarga pasien juga dihadapi Aditya Caka, dokter di Rumah Sakit Royal, Rungkut, Surabaya yang menjadi salah satu tempat rujukan Covid-19. Saat itu ia hendak menjalankan protokol pemakaman untuk jenazah pasien corona.

Tapi keluarga almarhum menolaknya. Mereka bersikeras ingin membawa pulang jenazah dan memakamkannya sendiri. “Akhirnya saya ngotot-ngototan dengan anaknya pasien,” kata pria lulusan Fakultas Kedokteran UI ini kepada reporter Katadata.co.id, Jumat (7/8).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang diteken Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 13 Juli, protokol pemulasaraan jenazah pasien corona di antaranya, tak boleh disemayamkan di rumah duka, boleh dimandikan setelah dilakukan disinfeksi, dimasukkan ke peti tertutup, dan mesti dikuburkan tak lebih dari 24 jam setelah meninggal dengan kehadiran petugas kesehatan.

Protokol tersebut, seperti dikatakan Juru Bicara Satgas Covid-19 Reisa Broto Asmoro pada 17 Juli lalu, berdasarkan anjuran organisasi kesehatan dunia (WHO) dan pertimbangan pemuka agama.

Selain itu, Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis pada 5 Juni telah mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/1618/VI/Ops.2/2020 agar polisi di daerah bekerja sama dengan rumah sakit rujukan dalam menghindari kejadian seperti dialami Aditya.  

Surat Kapolri tersebut, kata Aditya, sangat membantunya menghadapi perkara sejenis yang memang beberapa kali terjadi lagi. Bantuan polisi membuat keluarga pasien lebih mudah menerima pelaksanaan protokol pemulasaraan jenazah karena tak mau berurusan dengan hukum.

Bertarung dalam Keterbatasan

Di samping kendala-kendala tersebut, tenaga kesehatan juga mesti bertarung dengan virus corona di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan (selanjutnya ditulis faskes). Deborah dan Aditya mengaku kesulitan mendapatkan alat pelindung diri (APD), seperti masker N95 dan pakaian hazmat, pada awal pandemi merebak.

Sebagai siasat, mereka menggunakan jas hujan, kaca mata renang, sampai masker kain. Seluruh pakaian tersebut sebenarnya tak sesuai dengan standar WHO dan membuat mereka tetap berisiko tinggi tertular corona dari pasien. Namun, seperti kata Deborah, “daripada tidak sama sekali.”

Organisasi nirlaba Solidaritas Berantas Covid-19 pada April lalu atau sebulan setelah pandemi merebak di negeri ini, kebutuhan APD secara nasional mencapai 3,8 juta unit. Kebutuhan terbanyak di Jawa Barat dengan 775,3 ribu unit disusul Jawa Timur dengan 510,9 ribu unit, tempat Deborah dan Aditya bertugas.

Rincian kebutuhan APD nasional berdasarkan provinsi bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Meskipun tak separah kondisi di tempat Aditya dan Deborah, keterbatasan APD juga dialami Anggraini Charisma yang menjadi perawat bagian ruang High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Ruang itu adalah tempat pasien yang memerlukan inkubasi khusus karena keadaannya buruk.

Untuk menjalankan tugas, Anggraini membutuhkan seragam APD level 3 yang meliputi baju hazmat, pelindung wajah, kacamata goggles, penutup rambut, masker, sarung tangan, dan sepatu bot. “Jadi kami sekali pakai tidak bisa melepasnya sampai shif berakhir,” kata gadis berusia 25 tahun asli Cempaka Putih, Jakarta ini kepada reporter Katadata.co.id, Sabtu (8/8).

Shif kerja di Wisma Atlet terbagi ke dalam tiga waktu: pagi dari jam 08.00-16.00, sore dari 16.00-23.00, dan malam dari 23.00-08.00. Sehingga, lebih kurang delapan jam mereka mesti menggunakan pakaian APD level 3.

Selama itu pula mereka tak bisa makan, minum, buang air kecil, dan besar. Sebab, sekali pakaian dilepas tak bisa digunakan lagi, sesuai protokol.

Data per 14 Agustus 2020, terdapat 1.303 pasien terkonfirmasi virus corona yang dirawat di Wisma Atlet, seperti disampaikan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, Kolonel Marinir Aris Mudian dalam keterangan resminya. Rinciannya, 729 pria dan 577 wanita.

Seluruh pasien tersebut, kata Anggraini, ditempatkan di Tower 6 dan 7. Sementara, perawat dan dokter ditempatkan di Tower 3 dan 2. Meskipun dipisah, risiko penularan kepada tenga kesehatan tetap besar karena mereka bersentuhan dengan pasien saban hari.

Jawaban atas kendala ini baru datang setelah pandemi menginjak bulan ketiga. Saat itu donasi APD mulai berdatangan dari pelbagai pihak dan pemerintah memfokuskan produksi dalam negeri. Salah satu yang aktif mendistribusikan alat kesehatan adalah Satgas Penanganan Covid-19, seperti bisa dilihat dalam Databoks berikut:

Faskes lain yang terbatas adalah kamar rawat inap. Hal ini diungkapkan Aditya. Rumah Sakit Royal Surabaya hanya memiliki 30 kamar. Padahal rumah sakit ini sejak Maret sampai Agustus telah merawat lebih dari 300 pasien Covid-19 dengan pelbagai tingkatan gejala.

Hal ini karena Kecamatan Rungkut yang menjadi wilayah operasi Rumah Sakit Royal memiliki kasus tinggi.  Data Dinas Kesehatan Surabaya dalam situs lawancovid-19.surabaya.go.id per 14 Agustus, mencatat mencapai 599 kasus. Terbanyak di Kelurahan Kalirungkut dengan 185 kasus.

Tingginya kasus di Rungkut pun tak lepas dari kondisi Surabaya yang masih tergolong zona oranye dalam peta Covid-19 Pemprov Jawa Timur dengan total 10.309 orang terkonfirmasi corona per 14 Agustus. Zona oranye menunjukkan risiko sedang.  

Kendala Rumah Sakit Royal hanyalah cuplikan kecil dari gambaran yang lebih besar. Data Kementerian Kesehatan pada 2018 menyatakan, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia sebesar 1,17 per 1.000 penduduk.

Artinya, hanya ada 1 tempat tidur untuk seribu penduduk. Sangat jauh jika dibandingkan Korea Selatan yang memiliki lebih kurang 11 tempat tidur per seribu penduduk.

“Tanpa fasilitas memadai, penanganan corona menjadi semakin sulit. Kami khawatir rumah sakit tidak lagi mampu menampung pasien dengan kasus yang tak kunjung melandai,” kata Humas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Halik Malik kepada reporter Katadata.co.id, Sabtu (8/8).

Terinfeksi dan Gugur  

Pertarungan dalam keterbatasan tak sepenuhnya dapat dimenangkan para tenaga kesehatan. IDI sampai 4 Agustus lalu mencatat 74 dokter di seluruh Indonesia meninggal akibat terinfeksi Covid-19. Sementara Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) per 12 Juli mencatat 39 perawat meninggal dengan penyebab sama.

Namun, data tersebut belum menggambarkan sepenuhnya dampak Covid-19 terhadap tenaga kesehatan. Mengingat, belum ada data resmi yang dipublikasikan pemerintah pusat. Selama ini data dikumpulkan secara parsial oleh Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan oleh lembaga non-pemerintah yang membuatnya sulit diakses masyarakat.

Amnesty Internasional adalah lembaga yang turut melakukan pendataan ini. Sampai 12 Juni, seperti dalam situs resmi mereka, tercatat 878 kasus tenaga kesehatan terinfeksi virus corona di Indonesia. Beberapa di antaranya 174 kasus di DKI Jakarta, 225 kasus di Jawa Timur, dan 110 kasus di Jawa Tengah.

Sementara, data Dinas Kesehatan Jawa Timur yang diterima Katadata.co.id mencatat per 9 Juli total 295 tenaga kesehatan di pelbagai bidang terinfeksi Covid-19. Rinciannya 23 meninggal dunia, 188 sembuh, dan 84 masih dalam perawatan.

Lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sumatera Utara per 8 Agustus mencatat 348 orang tenaga kesehatan di wilayahnya terinfeksi virus corona. Detailnya, 42 dokter spesialis, 13 peserta pendidikan dokter spesialis, 29 dokter umum, 207 perawat, 29 bidan, dan 30 analis laboratorium.

“Kami ingin ada pembenahan data dan informasi terkait dokter dan tenaga kesehatan yang terdampak pandemi. Dari data-data tersebut bisa dilakukan berbagai upaya pencegahan,” kata Halik.

PB IDI mengusulkan kepada pemerintah melakukan tes usap berkala kepada dokter dan tenaga kesehatan di tiap rumah sakit, bukan hanya untuk mereka yang menangani Covid-19. Mengingat saat ini semakin banyak orang tanpa gejala yang meningkatkan risiko penularan pada tenaga kesehatan.

Halik menyatakan, rata-rata usia dokter yang meninggal akibat Covid-19 di bawah 50 tahun. Sementara, per dokter yang meninggal membuat Indonesia kehilangan 15 tahun pelayanan. Satu hal yang tak akan pernah tergantikan di tengah pentingnya peran mereka saat pandemi.

“Dari 270 juta rakyat, hanya 1 jutaan tenaga kesehatan. Dokter yang aktif melayani tidak lebih dari 200 ribu orang,” kata Halik.

Ketua Satgas Covid-19 IDI, Zubairi Djoerban menyatakan peran pemerintah sangat erat dalam menjaga keselamatan para tenaga kesehatan, meskipun bukan penentu. Alasannya, pemerintah yang memiliki ketersediaan infrastruktur dan kebijakan untuk melakukannya.

Ia berharap ke depannya pemerintah bisa lebih meningkatkan perhatiannya kepada tenaga kesehatan. Seperti memberikan lebih banyak APD yang menjadi tameng utama untuk mengurangi risiko penularan virus corona.

Begitupun menambah jumlah rumah sakit rujukan agar pasien Covid-19 tak tercampur dengan pasien penyakit lain yang bisa mencipatakan klaster di tempat pelayanan kesehatan.

“Jadi dulu orang mengenal sistem safety medicine. Di mana orang harus aman ketika berobat. Kini harus ada dokter safety. Kalau saya sakit ini kan bawa ke rumah. Keluarga bisa tertular,” kata Zubairi kepada reporter Katadata.co.id, Minggu (9/8).

Upaya Pemerintah Daerah

Tantangan juga dihadapi pemerintah daerah di zona merah dalam menghadapi pandemi virus corona. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan, kendala utama penanganan kesehatan di wilayahnya adalah kepatuhan masyarakat terhadap protokol Covid-19, fasilitas kesehatan dan melakukan tes massal.

Kendala kepatuhan masyarakat, kata Khofifah, tercermin dari hasil survei alumni FKM Universitas Airlangga periode 19-23 Mei 2020 atau selama masa PSBB tahap 2 Jawa Timur. Bahwa 41-84% masyarakat tak menggunakan masker dan tak menerapkan physical distancing di pelbagai tempat aktivitas publik.

Guna mengatasi kendala ini, Khofifah merevisi Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat. Revisi memasukkan aturan pembatasan kegiatan masyarakat dan protokol kesehatan lain beserta konsekuensi pelanggarannya. Aturan baru ini berlaku sejak Juli lalu.

“Jadi ini disahkan sebelum Inpres tentang sanksi pelanggaran protokol kesehatan,” kata Khofifah kepada Katadata.co.id, Selasa (11/8).

Kebijakan lain, adalah menggalakkan penggunaan masker. Pemprov Jawa Timur bersama pemerintah pusat dan lembaga non-pemerintah mendonasikan 26 juta masker kepada masyarakat pada 7 Agustus lalu. Donasi diberikan berdasarkan kebutuhan jumlah anggota keluarga masyarakat.

Selain itu, Khofifah menerapkan program Kampung Tangguh di beberapa kabupaten/kota, seperti di Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya. Ketiganya adalah wilayah dengan penularan virus corona yang massif di Jawa Timur. Program ini bertujuan mengintervensi pelaksanaan penerapan protokol kesehatan dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat atau community building.

Dalam menyelesaikan kendala faskes, Khofifah pada 16 Maret memastikan kesiapan Institute Tropical Disease (ITD) milik Universitas Airlangga (UNAIR) yang ditunjuk Kemenkes menjadi laboratorium tes PCR.

Pemprov Jatim juga memastikan kesiapan RS Infeksi UNAIR dan meminta kepada RS lain di bawah koordinasi Pemprov Jatim menyiapkan ruang isoalsi khusus. “Istilah saya sedia payung sebelum hujan,” kata Khofifah.

Pada bulan yang sama, Khofifah juga mengajukan izin kepada Menkes Terawan untuk menyulap satu gedung di RS Menur Surabaya milik Kemenkes menjadi ruang isolasi. Ia pun membuat RS Lapangan Indrapura yang resmi beroperasi pada 25 Mei dan menjadi penyangga RS rujukan.  

Data Pemprov Jatim yang disampaikan Khofifah menyatakan, per 11 Agustus RS Lapangan Indrapura telah merawat 1252 pasien Covid-19. Rinciannya 1136 orang telah dinyatakan sembuh, 107 orang masih dalam perawatan, dan nol orang meninggal.

Edsus Covid-19
Edsus Covid-19 (ADI MAULANA IBRAHIM|KATADATA)
 

Khofifah menyatakan, kendala utama tes massal adalah mahalnya reagen PCR. Ia pun menyiasatinya dengan memilah orang yang perlu dites PCR dan menggalakkan tes cepat. Data Dinkes Jatim yang disampaikannya per 11 Agustus pukul 17.00 WIB, Jatim menjadi provinsi terbanyak melakukan tes cepat di Indonesia dengan 834.418 orang telah dites.

“1 dari 48 penduduk Jatim telah dites cepat Covid-19,” kata Khofifah.

Mereka yang terbukti reaktif dalam tes cepat beserta kontak terdekatnya kemudian mendapat fasilitas tes PCR setelah sebelumnya diisolasi di gedung BPSDM dan dua hotel. Total per 11 Agustus 2020 pukul 17.00 WIB, 160.830 orang dari sekitar 40 juta penduduk Jatim telah dites PCR.

Saat ini, kata Khofifah, Jatim memiliki 53 mesin PCR dan 23 mesin tes cepat. Ia menargetkan ke depannya menargetkan tes harian kepada 4.000-5.349 orang. Target ini wajar mengingat tingkat tes Jatim masih di bawah standar WHO, yakni 1 per 1.000 penduduk per minggu.

Data WHO selama tiga minggu ke belakang menunjukkan hanya DKI Jakarta yang telah memenuhi standar tersebut. Pada periode 20-26 Juli rasionya 4,3 per 1.000 penduduk, lalu periode 27 Juli-2 Agustus rasionya 3,5 per 1.000 penduduk, dan periode 3-9 Agustus rasionya 4,3 per 1.000 penduduk.

Hasil dari upaya ini, kata Khofifah, adalah rasio kesembuhan pasien corona di data Dinas Kesehatan Jawa Timur per 11 Agustus mencapai 72,46%. Lebih tinggi dari rasio sembuh nasional saat itu yang sebesar 65%. Ia pun menyatakan rasio kesembuhan di 38 kabupaten/kota telah lebih dari 50%.

Jawa Timur pun dalam seminggu ke belakang tak lagi menempati posisi teratas total kasus berdasarkan provinsi di tingkat nasional. Tempat itu kembali diduduki DKI Jakarta dengan total 28.299 kasus.   

“PR kami saat ini adalah menurunkan rasio kematian yang masih 7,39%,” katanya.

Langkah Khofifah menurunkan angka kematian adalah dengan melakukan pendataan intensif terhadap penyebab selain corona. Data yang berhasil dikumpulkannya per 11 Agustus menyatakan, 27,6% pasien Covid-19 yang meninggal memiliki penyakit bawaan diabetes. Disusul hipertensi (23%) dan jantung (19%).

Kendala serupa juga dialami Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Menurutnya, pelanggaran protokol kesehatan paling banyak dilakukan oleh orang luar Surabaya yang berkunjung. Caranya menyelesaikan hal ini adalah dengan memberi sanksi sosial, seperti merawat orang gila dan membersihkan rumah susun.

“Sekarang kalau lihat kepatuhannya sudah sekitar 90% lah,” kata Risma kepada Katadata.co.id, Kamis (13/8).

Data yang disampaikan Risma tersebut meningkat jauh dibandingkan hasil survei alumni FKM Universitas Airlangga terkait pelaksanaan protokol kesehatan di era kenormalan baru di Surabaya periode 24-26 Juni 2020. Bahwa, 15,68%-50,64% masyarakat masih tak menggunakan masker dan tak menerapkan physical distancing di pelbagai fasilitas publik.

Seperti yang dilakukan Pemprov Jawa Timur, Risma mengatasi keterbatasan tes PCR dengan menggalakkan rapid test. Lalu, memilah orang yang reaktif untuk ditindaklanjuti dengan tes PCR. Mereka yang positif dikarantina di Asrama Haji, Sukolilo, Surabaya.

“Tingkat penyembuhan di asrama haji 100% dan cepat sekali. Paling lama 3 hari dan mereka kami pulangkan harus karantina mandiri,” kata Risma.

Di samping itu, ia menyatakan membuat aplikasi untuk mengontrol pergerakan pasien terkonfirmasi Covid-19. Sehingga, mata rantai penularannya bisa diputus dan tak menambah jumlah kasus baru. Hal ini lah yang membuat Surabaya tak lagi menjadi zona hitam seperti ramai diberitakan sebelumnya.

“Cek saja di peta website Kemenkes, kami sudah hijau,” kata Risma.  

Reporter: Muhammad Ahsan Ridhoi
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...

Artikel Terkait