45 Daerah Pelaksana Pilkada Berada di Zona Merah Covid-19
Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada Desember 2020. Di masa pandemi ini, satuan tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat, ada 45 daerah pelaksana pilkada yang berada di zona merah Covid-19.
"Dari 309 kabupaten/kota pilkada, terdapat 45 kabupaten/kota dengan risiko tinggi," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito di Kantor Presiden, Kamis (10/9).
Secara rinci, 45 daerah tersebut ada di 15 provinsi. Di Sumatera Utara, kota yang melaksanakan pilkada dengan zona risiko tinggi berada di Mandailing Natal, Kota Binjai, Kota Gunungsitoli, Kota Medan, dan Kota Sibolga.
Di Sumatera Barat, ada Kota Padang, Kota Padang Panjang, Agam, Kota Bukittinggi, dan Kota Padang Panjang. Kemudian Riau meliputi Kuantan Singingi, Pelalawan, Siak, dan Kota Dumai.
Selanjutnya, daerah zona merah yang melaksanakan pilkada di Kepulauan Riau meliputi Kota Tanjungpinang dan Kota Batam. Di Banten, hanya tercatat satu kota yaitu Tangerang Selatan.
Kemudian, ada Kota Depok di Jawa Barat, Kota Semarang di Jawa Tengah, serta Banyuwangi, Sidoarjo, dan Kota Pasuruan di Jawa Timur.
Di Bali, ada 6 daerah dengan zona merah yang menyelenggarakan pilkada, yaitu Badung, Bangil, Jembrana, Karangasem, Tabanan, dan Kota Denpasar.
Lalu, ada Kota Makassar di Sulawesi Selatan dan Kota Manado di Sulawesi Utara.
Untuk Kalimantan Selatan, ada 6 daerah zona tinggi yang menggelar pilkada. Daerah itu ialah Barito Kuala, Hulu Sungai Utara, Tanah Laut, Balangan, Hulu Sungai Tengah, dan Kotabaru.
Di Kalimantan Tengah ada Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, dan Kota Palangkaraya. Sementara di Kalimantan Timur meliputi Kutai Kartanegara, Mahakam Ulu, Kota Balikpapan, Kota Bontang, dan Kota Samarinda.
Wiku pun meminta warga di daerah dengan risiko tinggi tersebut untuk mematuhi protokol kesehatan demi mencegah penularan kasus Covid-19. Hal tersebut demi mencegah adanya penularan virus corona klaster pilkada.
Adapun, sejumlah protokol kesehatan yang perlu diterapkan seperti bakal calon pasangan harus melakukan tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19. Selain itu, bakal calon pasangan dilarang melaukan kontak fisik selama proses seleksi.
Selain itu, metode kampanye yang diperbolehkan seperti pertemuan dilaksanakan dengan jumlah orang yang terbatas. Jika di dalam ruangan, jumlah maksimum sebanyak 50 orang dengan jaga jarak 1 meter. Kampanye tersebut disarankan menggunakan media online.
Sementara untuk debat publik yang dilaksanakan di studio lembaga penyiaran, jumlah yang diperbolehkan maksimal 50 orang. Bahan kampanye yang disarankan berbentuk alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, pelindung wajah, atau penyanitasi tangan.
Seluruh ketentuan protokol kesehatan tersebut tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 6 Tahun 2020 dan Nomor 10 Tahun 2020.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan, ada sanksi administratif dan sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan. Terkait sanksi adminsitratif, Bawaslu akan berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengenakan sanksi tersebut sesuai Peraturan KPU nomor 6 tahun 2020 yang telah diperbarui dengan Peraturan KPU nomor 10 tahun 2020.
"Bentuknya rekomendasi kami kepada KPU," kata Ketua Bawaslu Abhan dalam konferensi pers di kantornya, Senin (7/9).
Setelah itu, KPU akan berkoordinasi dengan Bawaslu terkait sanksi kepada bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.
Dalam Peraturan KPU nomor 6 tahun 2020, Pasal 11 berbunyi pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 akan diberikan teguran dari KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), atau Panitia Pemungutan Suara (PPS). Teguran diberikan agar pihak yang bersangkutan mengikuti protokol kesehatan.
Jika pelanggaran masih dilakukan, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, atau PPS berkoordinasi dengan Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, atau Panwaslu Kelurahan/Desa untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Terkait sanksi pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggar protokol kesehatan. Namun, Bawaslu memiliki kewenangan untuk meneruskan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang diatur di luar aturan tersebut.
Misalnya, Bawaslu dapat mengacu pada aturan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Wilayah atau Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit. Kemudian, Pasal 212 dan 218 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hingga Peraturan Daerah dan Peraturan Menteri Kesehatan.