Studi : Pada 2030, Ada 90 Juta Ton Sampah Plastik Masuk ke Laut.
Peran dan tanggung jawab pelaku usaha atau produsen dalam mengelola dan mengurangi sampah sangat strategis dan penting untuk mencapai Indonesia Bersih 2025. Direktur Jendral Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengatakan para pelaku usaha atau produsen punya kewajiban untuk mengatasi sampah.
“Jadi kalau kita bicara sampah dari hulu, kita juga bicara tentang para produsen,” kata Rosa Dalam Webinar bertajuk Selasa, 20 Oktober 202 Technologi for Waste Management, Direct to Your Home. Webinar ini sekaligus menjadi ajang peluncuran aplikasi e-recycle yang bisa diunduh masyarakat di playstore.
Peran para produsen ini, kata Rosa tercantum dalam Peraturan Menteri LHK tahun 2019, tentang Peta Jalan pengurangan Sampah oleh Produsen. “Kami memberikan waktu 10 tahun untuk secara kongkret dan terukur agar perusahaan meredesain kemasan, wadahnya hendaknya bukan yang sekali pakai, tapi bisa di-recycle dan bisa digunalan kembali,” lanjut Rosa.
Selain itu perusahaan, juga wajib menarik kembali kemasan produk dari para konsumen, sehingga tidak ada lagi sampah kemasan plastik yang terbuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengingatkan persoalan sampah plastik saat ini makin berat. Berdasarkan riset terbaru dari Universitas di Toronto yang berkolaborasi dengan universitas dari 170 negara disebutkan, pada 2030 mendatang akan ada 90 juta ton sampah plastik yang masuk ke laut jika tidak ada langkah signifikan untuk menguranginya.
Dalam riset yang juga melibatkan Universitas Hassanudin Makasar itu, kata Novrizal, untuk mengurangi signifikan sampah plastik ke laut antara lain harus dilakukan dengan melarang penggunaan plastik sekali pakai. Artinya plastik yang digunakan harus bisa digunakan ulang dan didaur ulang.
Dalam upaya daur ulang ini pemerintah kata Novrizal mendorong pengembangan sirkular ekonomi melalui dua strategi. “Yang pertama yang kita bangun adalah ekosistem, kalau kita lihat ekosistem sudah ada mulai dari masyarakat, pemulung, bank sampah,” kata Novrizal. Ada banyak yang terlibat dalam ekosistem dari hulu hingga ke hilir yang berpotensi menjadi besar jika bisa ditingkatkan kapasitasnya dan diberi sentuhan teknologi.
“Hilirnya adalah industri recycle sendiri, misalnya plastik botol industrinya pabrik sepatu misalnya,” lanjut Novrizal. Kedua, dalam sirkular ekonomi ini yang dibangun pemerintah kata Novrizal, adalah dukungan untuk kontribusi faktor lingkungannya, termasuk dengan memberikan insentif fiskal untuk industri daur ulang.
Direktur Green Eksekutif Indonesia Foundation Asrul Hosein mengatakan saat ini, tidak mungkin melarang produk berkemasan plastik, termasuk kemasan produk saset yang marak di Indonesia. “Perusahaan silakan memproduksi dengan kreasinya, sesuai kemampuannya dan kemampuan pasar, hanya saja perlu kolaborasi melakukan re-design agar sampah bisa dikelola,” jelasnya. Pengelolaan sampah akan efektif jika pada setiap plastic ada label ekonominya. “Selama ini yang ada baru label teknis, ke depan perlu label ekonomi, jadi ada daya tarik karena diketahui nilainya,” lanjut Asrul. Kelak menurutnya, tidak ada sampah yang tidak bernilai, semua sampah akan ada nilai ekonominya.
Aksi Garnier
Garnier L'Oréal, yang menjadi salah satu pelopor industri kecantikan berkelanjutan, terus bertransformasi menuju bisnis hijau untuk mendukung pembangunan keberlanjutan dan inklusi melalui Garnier Green Beauty. Aksi ini mengandalkan penggunaan teknologi untuk mengelola dan mengurangi sampah. Mohamad Fikri – CPD Communications Manager L'Oreal Indonesia mengatakan perusahaannya menyusun peta jalan untuk mendukung aksi keberlanjutan tersebut.
Pertama, kata Fikri dari aspek sumber atau bahan baku harus memperhatikan aspek berkelanjutan. “Kedua, kemudian kami meredesain formula dan packaging, kemudian pabrik dalam proses produksi berkomitmen harus ramah lingkungan, dan setelah produk sampai ke tangan konsumen kita punya komitmen untuk mengambil aksi lagi,” jelasnya.
Dengan dukungan penuh KLHK, dalam Garnier Green Beauty, perusahaan mengembangkan kemasan dan formula produk yang dapat terurai kembali ke alam. “Pada 2022 (target) semua bahan kemasan kita renewable indigrient,” kata Fikri. Garnier mengadopsi Green science untuk formula maupun kemasan ramah lingkungan, memastikan sumber dan produksi berkelanjutan. Pada 2019 lalu menurut Fikri ada pengurangan 32 ton bahan virgin plastic dalam kemasannya. “Penghematan ditargetkan menjadi 402 ton pada 2022 dan pada 2025 semua kemasan kita (targetnya) zero virgin plactic.”
Menjawab seruan KLHK untuk menguatkan kapasitas ekosistem daur ulang, Fikri mengatakan Garnier pada tahun lalu telah memberdayakan 670 komunitas. “Pada 2025 target kami bisa memberdayakan 800 komunitas,” lanjut Fikri.
Dalam Webinar Garnier Katadata ini juga diluncurkan aplikasi e-recycle. Co-Founder & Business Head eRecycle Dicky Wiratama menjelaskan recycle aplikasi mengajak masyarakat untuk mulai memilah sampah. “Kami memberi kemudahan dengan aplikasi ini, jadi setelah mereka memilah, mereka biasanya bingung akan dikemanakan sampahnya, salurannya ke mana, kami beri kemudahan, kami jemput langsung ke tempat mereka,” kata Dicky.
Masyarakat atau rumah tangga yang memilah sampah bisa menyampaikan order melalui aplikasi berdasarkan jenis sampah yang dipilah.
“Pada dasarnya kami melakukan tiga langkahuntuk kegiatan ini yaitu, pemilahan yang dilakukan oleh masyarakat atau user aplikasi e-recycle, kemudian kami melakukan pengumpulan dengan menjemput langsung, lalu kami bekerjasama dengan mitra-mitra kami dalam mendaur ulang,” papar Dicky.
Dengan kemudahan yang disuguhkan oleh aplikasi e-recycle ini, setiap rumah tangga atau individu bisa berpartisipasi dalam rantai pengurangan dan pemanfaatan sampah. Jadi tunggu apalagi?