Stok Terbatas, Bulog Akan Revitalisasi Sistem Lumbung Pangan Desa
Perum Bulog menyiapkan revitalisasi lumbung pangan tingkat desa untuk mengantisipasi kelangkaan stok akibat bencana alam. Apalagi potensi stok pangan terbesar masih berasal dari desa.
Wakil Dirut Bulog Gatot Trihargo mengatakan sebanyak 56% cadangan beras yang ada berasal dari desa. Sedangkan porsi stok beras pemerintah pusat hanya sebesar 8% dari angka keseluruhan.
“Ke depan, kami akan kerja sama dengan desa bagaimana menjaga cadangan pangan secara mandiri,” kata Wakil Direktur Utama Bulog Gatot Trihargo dalam webinar Refoodmation, Selasa (10/11).
Gatot mengatakan, lumbung pangan desa itu juga diperlukan untuk mengantisipasi berbagai bencana, seperti potensi terjadinya la nina pada 2021. Akibatnya, musim panen pada tahun depan diperkirakan bakal maju satu bulan sehingga stok gabah diperkirakan melimpah.
Selain dengan adanya lumbung pangan pedesaan, maka desa dan rumah tangga perkotaan memiliki cadangan beras satu bulan atau sekitar 8 juta ton. Selain itu, lumbung beras ini juga mempu memutar roda ekonomi pedesaan.
“Kami akan jaga dan membuat threshold sebagai upaya agar masyarakat aman,” kata dia.
Salah satu contoh adalah Desa Pendua, Kecamatan Kayangan, Kab Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saat gempa terjadi di NTB dua tahun lalu, cadangan pangan lokal wilayah tersebut ikut terganggu. Oleh sebab itu revitalisasi dilakukan agar pasokan makanan pokok tetap terjaga.
Meski demikian, revitalisasi lumbung pangan bukan tanpa tantangan. Gatot mengatakan konversi lahan masih terus terjadi dengan pertumbuhan 10-15% per tahun. Oleh karena itu, ia menilai perlunya moratorium lahan sawah agar tidak dikonversi.
Di kesempatan yang sama, Kepala Desa Pendua, Abu Agus Salim mengatakan, sistem cadangan pangan desa sudah lama tumbuh di tengah masyarakat. Salah satunya, penympanan gabah saat panen dilakukan dengan menggunakan bangunan tradisional, yaitu sambi.
Namun, belakangan terjadi pergeseran penggunaan sambi sebagai sistem penyimpanan cadangan pangan. Saat terjadi gempa, masyarakat yang tinggal jauh dari akses jalan mengalami kesulitan dalam menerima bantuan pangan. Akibatnya, ada keterlambatan bantuan pangan bagi beberapa masyarakat di Lombok.
Peristiwa itu menyadarkan masyarakat untuk menghidupkan kembali sistem cadangan pangan. "Berangkat dari itu jajaran desa, BPD, dan masyarakat berpikir bahwa sewaktu-waktu krisis pangan bisa terjadi," kata Abu.
Makanya, pemerintah desa telah meminta masyarakat untuk menyimpan hasil panennya, terutama gabah dan makanan pokok. Cadangan pangan itu dapat kembali dijual saat harga pangan mulai kembali normal.