Anggap Tak Efektif, WHO Minta Dokter Setop Remdesivir ke Pasien Corona
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar dokter tak menggunakan remdesivir dalam pengobatan Covid-19. Hal ini setelah panel ahli WHO menyatakan penggunaan obat tersebut tak efektif dalam menangani pasien corona.
Remdesivir merupakan obat pertama yang diberikan izin oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk mengobati pasien Covid-10. Obat yang diproduksi Gilead Sciences ini dijual dengan nama Veklury.
“Remdesivir tidak memiliki efek yang berarti untuk (mengurangi) kematian atau pada hasil lainnya untuk pasien,” demikian diumumkan WHO pada Kamis (19/11) dikutip dari CNBC.
Rekomendasi tersebut didapatkan panel ahli WHO dari beberapa hasil perawatan serta data empat pengujian acak internasional yang melibatkan lebih dari 7.000 pasien. Dari pengujian, mereka tak menemukan bukti bahwa remdesivir mampu meningkatkan kesembuhan atau mempersingkat waktu pemulihan pasien.
Pernyataan WHO ini direspons negatif oleh Gilead yang menyatakan standar remdesivir telah diakui di banyak negara seperti AS, Jepang, Inggris, dan Jerman. Mereka juga menyampaikan kekecewaannya kepada WHO yang menyampaikan hal ini saat kasus Covid-19 dunia meningkat.
“WHO tampaknya mengabaikan bukti ini saat kasus meningkat dan dokter mengandalkan Veklury sebagai pengobatan yang disetujui di 50 negara,” kata Juru Bicara Gilead Chris Ridley.
Di Indonesia, PT Kalbe Farma Tbk akan mendistribusikan remdesivir buatan Amarox Pharma Global asal India dengan nama Covifor. Meski demikian, belum ada keterangan resmi Kalbe menyikapi pernyataan terbaru WHO ini. Hingga berita ini ditulis, Head of External Communication & Stakeholder Relation Kalbe Hari Nugroho belum merespons telepon dan pesan singkat Katadata.co.id.
Sebelumnya, Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Zullies Ikawati mengatakan hingga saat ini belum ada obat corona yang benar-benar teruji. Namun ia menyatakan beberapa obat antivirus menjanjikan dalam terapi pasien Covid-19.
"Dari proses uji itu, sepertinya remdesivir yang memang paling promising hasilnya," kata Zullies dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, Rabu (7/10).
Sedangkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mencabut persetujuan klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk mengobati pasien virus corona. Ini lantaran dua obat tersebut berisiko terhadap gangguan ritme jantung.
BPOM telah menerima laporan keamanan dua obat ini dari penelitian selama 4 bulan di tujuh rumah sakit yang ada di Indonesia. Dari 213 pasien yang mendapatkan obat malaria ini, 28,2% mengalami gangguan ritme jantung seperti perpanjangan interval QT.
"Dengan demikian, obat yang mengandung hidroksiklorokuin dan klorokuin agar tidak digunakan lagi dalam pengobatan Covid-19,” kata Kepala BPOM Penny Lukito pada konferensi pers, Kamis (19/11) dikutip dari Antara.
Pengobatan ini diperlukan untuk mengatasi jumlah pasien Covid-19 yang terus meningkat. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengatakan kasus aktif Covid-19 RI kembali menunjukkan tren peningkatan beberapa hari terakhir. Salah satu faktornya yaitu ketidakpatuhan masyarakat menjalankan gerakan 3M atau menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
"Ini alert bagi kita semua untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan karena berpengaruh pada kasus aktif di Indonesia," ujar Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 dr. Dewi Nur Aisyah dalam konferensi pers virtual pada Rabu (18/11).
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan