Strategi Optimalisasi Hasil Kelapa Sawit Tanpa Ekspansi Lahan

Happy Fajrian
28 Januari 2021, 17:27
lahan, perkebunan kelapa sawit, ekspansi lahan kelapa sawit, kelapa sawit
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, di Petajen, Batanghari, Jambi, Jumat (11/12/2020). Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan nilai ekspor kelapa sawit nasional tahun 2020 yang berada di tengah situasi pandemi COVID-19 tidak mengalami perbedaan signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 20,5 miliar dolar AS atau dengan volume 29,11 juta ton.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan Indonesia. Namun ekspansi lahan kelapa sawit sering kali mendatangkan berbagai masalah mulai dari deforestasi, memicu konflik agraria, menyebabkan kebakaran, hingga mengancam wilayah adat dan ekosistem.

Program officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan Trias Fetra mengatakan ada sejumlah cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan hasil perkebunan kelapa sawit tanpa ekspansi lahan.

Pertama, memperbaiki tata kelola dan administrasi perizinan perkebunan kelapa sawit, sehingga potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari perizinan hak guna usaha (HGU) sawit dapat dimaksimalkan.

“Ada 279 ribu hektare (Ha) lahan di Riau dan 1,3 juta Ha lahan di Kalimantan Barat yang belum mengantongi izin HGU tetapi sudah memiliki tutupan sawit. Seharusnya pemerintah bisa menyerap PNBP jika sudah ada perizinan untuk lahan-lahan ini,” ujarnya dalam Katadata Virtual Series bertajuk Dampak Ekonomi Sawit bagi Daerah, Kamis (28/1).

Adapun potensi PNBP dari lahan sawit di Riau mencapai Rp 191 miliar, sedangkan di Kalbar mencapai Rp 660 miliar. Sementara daerah penghasil kelapa sawit tidak hanya dua provinsi tersebut.

“Itu baru dua provinsi, bayangkan dari seluruh provinsi yang ada sawitnya itu dengan sistem administrasi yang bagus, dikelola dengan baik, berapa yang akan diserap dan dimaksimalkan tanpa kita melakukan penambahan luas lahan?” kata dia.

Sama halnya dengan potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) terhadap pendapatan pemerintah daerah. Trias menjelaskan bahwa data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa selama ini daerah baru menyerap 45-50% dari total potensi PBB.

Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit dapat disimak pada databoks berikut:

Kembali mengacu pada dua provinsi tersebut, ia menunjukkan bahwa Riau memiliki potensi pendapatan dari PBB sebesar Rp 74,5 miliar, sedangkan Kalbar Rp 76 miliar rupiah. “Ini semestinya bisa dioptimalkan,” kata dia.

Selain itu, alokasi dana harus diperbaiki agar lebih terarah dan menciptakan keuntungan produksi yang lebih baik. Pasalnya, dana perkebunan sawit dari pemerintah yang seharusnya diperuntukkan bagi petani malah dikooptasi oleh perusahaan bio diesel.

Trias menjelaskan bahwa berdasarkan data KPK tahun 2017, pungutan ekspor sebesar Rp 11 triliun. Namun, dari dana tersebut subsidi sebesar 80,1% diberikan untuk perusahaan bio diesel.

Menurut dia subsidi tersebut tidak memberikan manfaat besar terhadap keseimbangan faktor produksi dibandingkan jika dialokasikan untuk program yang berkaitan langsung dengan sektor perkebunan sawit.

Kebun Kelapa Sawit
Kebun Kelapa Sawit (Katadata)

“Jadi secara kalkulatif, jika semua dana tadi diberikan untuk sektor perkebunan sawit, maka pertumbuhan produksinya meningkat sebesar 6,52% dan juga mempengaruhi output di sektor lain seperti faktor produksi tenaga kerja naik 0,5%, output produksi rumah tangga juga naik 0,5%,” ujarnya.

Sedangkan alokasi dana saat ini untuk mensubsidi industri bio diesel hanya mampu meningkatkan output produksi sebesar 0,78%. Sehingga, menurut dia fokus pada perbaikan hal-hal ini lebih penting daripada melakukan ekspansi lahan.

Perbaikan hal-hal ini menurut Tetra lebih penting dibandingkan memfokuskan perhatian pada ekspansi lahan. “Kita bisa cross scheck ulang, apakah sawit ini benar-benar menguntungkan bagi daerah yang memiliki tutupan sawitnya besar?”

Kemiskinan Membayangi Provinsi Kaya Sawit

Ketidaksejahteraan petani pun masih dirasakan di desa-desa dan daerah-daerah. Pasalnya, harga tandan buah segar (TBS) yang ditentukan pemerintah kerap merugikan petani karena panjangnya mata rantai produksi.

Selain itu, hal ini mengakibatkan pembebanan biaya operasional ke petani dan menyebabkan petani tak kunjung sejahtera.

Kalbar misalnya, sebagai daerah penghasil sawit terbesar, angka kemiskinan di provinsi ini relatif tinggi. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar Heronimus Hero membenarkan hal tersebut, dan tengah melakukan pembenahan untuk desa-desa agar semakin maju dalam proses pengolahan perkebunan sawit.

“Banyak desa yang statusnya masih tertinggal dan sangat tertinggal dalam perkebunan sawit. Tetapi, setahun terakhir ini kami benahi, sehingga tidak ada lagi desa sangat tertinggal, sudah beranjak jadi desa maju dan berkembang. Beberapa bahkan sudah menjadi desa mandiri,” kata dia.

Kemiskinan Membayangi Provinsi Kaya Sawit
Kemiskinan Membayangi Provinsi Kaya Sawit (Katadata)

Di sisi lain, perekonomian Kalbar sebagian besar didukung oleh sub sektor perkebunan. Itu sebabnya, Heronimus menilai pentingnya dukungan dari pusat untuk mengevaluasi kebijakan agar daerah penghasil sawit bisa mendapat keuntungan lebih.

Selain itu, ia berharap hilirisasi semakin meningkat. Hal-hal seperti pengelolaan rantai industri akan semakin memberikan nilai tambah untuk Kalimantan Barat.

Reporter/penyumbang bahan: Ivan Jonathan (magang).

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...