Nasib Buruh Usai Penerbitan Aturan Penyesuaian Upah

Rizky Alika
18 Februari 2021, 21:06
Aktifitas pekerja Pabrik Sepatu dilokasi pabrik PT Adis Dimension Footwear di Balaraja Barat, Tangerang, Provinsi Banten, Senin (5/10).
Arief Kamaludin|KATADATA
Aktifitas pekerja Pabrik Sepatu dilokasi pabrik PT Adis Dimension Footwear di Balaraja Barat, Tangerang, Provinsi Banten, Senin (5/10).
  • Penyesuaian dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
  • Buruh dengan penghasilan setara UMR akan terancam.
  • Pemerintah seharusnya memberi insentif bagi industri agar bisa membayar buruhnya, bukan mengizinkan pemotongan upah. 

Pandemi Covid-19 telah memukul industri padat karya. Banyak di antaranya yang kesulitan membayar upah buruh. Kementerian Ketenagakerjaan kemudian mengizinkan perusahaan melakukan pemotongan gaji.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. Aturan ini berlaku sejak ditandatangani pada 15 Februari 2021.

Pasal 6 aturan itu menyebutkan, perusahaan industri padat karya tertentu yang terdampak pandemi Covid-19 dapat melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh.

Selanjutnya, Pasal 7 berbunyi, kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh dilakukan secara musyawarah yang dilandasi kekeluargaan, transparansi, dan itikad baik. Adapun, kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dengan memuat besaran upah, cara pembayaran upah, dan jangka waktu berlakunya kesepakatan paling lama 31 Desember 2021.

Namun, besaran upah yang disepakati tidak berlaku bagi perhitungan iuran dan manfaat jaminan sosial, kompensasi pemutusan hubungan kerja, dan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aturan ini berlaku bagi industri padat karya tertentu dengan kriteria pekerja/buruh yang dimiliki paling sedikit 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit 15%. Industri padat karya tertentu yang dimaksud meliputi industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur.

Lalu, bagaimana nasib upah buruh/karyawan setelah aturan ini diterbitkan?

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi mengatakan, penerbitan Permenaker tersebut tidak berarti perusahaan bisa serta merta memangkas gaji tenaga kerja industri padat karya. Justru, aturan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh terkait pelaksanaan pengupahan.

"Permenaker ini menegaskan perusahaan industri padat karya tertentu yang mengalami dampak Covid-19 tetap harus melaksanakan kewajibannya membayar upah dan hak lainnya," kata Anwar saat dihubungi Katadata, Kamis (18/2).

Sejatinya, sebelum regulasi ini dikeluarkan pun, buruh di berbagai sektor industri telah mengalami penurunan penghasilan. Simak Databoks berikut: 

Ia pun menekankan, penyesuaian upah dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Ini artinya, pengusaha tidak bisa melakukan penyesuaian ssecara sepihak.

Sesdirjen Perhubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial (Jamsos) Kemenaker Adriani mengatakan, penyesuaian upah yang dimaksud dalam aturan itu bukan berarti pengurangan upah.

"Tetapi penyesuaian upah dengan waktu kerja yang juga tidak normal," katanya. Sebab, saat pandemi industri dapat melakukan pengurangan jam kerja atau tidak beroperasi sama sekali.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyai, Bibit Gunawan mengatakan pemerintah seharusnya bisa melakukan pengawasan terhadap implementasi aturan tersebut. Hal ini untuk mencegah penurunan gaji bagi pekerja/buruh yang gajinya sudah mendekati batas upah minimum.

"Jangan sampai aturan ini dijadikan ajang menurunkan upah sehingga menjadi lebih tidak layak," ujar dia.

Sebagai informasi, Permenaker 2/2021 tidak menyebutkan batasan industri yang terdampak pandemi Covid-19. Aturan itu hanya menjelaskan, perusahaan yang terdampak pandemi merupakan perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan virus corona.

Bibit pun berharap, tidak ada perusahaan yang memanfaatkan aturan itu untuk menurunkan upah walaupun keuangannya tidak benar-benar terpuruk. Bila hal ini terjadi, para buruh bisa menolak kesepakatan penurunan upah.

"Kalau upah tetap diturunkan (meski tidak sepakat), bisa terjadi masalah hubungan industrial yang baru," katanya.

Ia pun menyebutkan, saat ini sudah banyak pekerja dan buruh yang mengalami penurunan gaji, terutama buruh industri tekstil. "Sektor yang paling rentan itu tekstil," ujar dia.

Sementara, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri(Kadin) Indonesia Johnny Darmawan menyepakati aturan tersebut. Menurutnya, ketentuan itu dapat mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawan atau buruh.

"Kalau industri memikirkan mau PHK atau tutup perusahaan, bisa pakai aturan ini sebagai jalan solusi yang cukup baik," kata Johnny.

Namun, ia mengakui ada ego sektoral di di sejumlah industri. Oleh karena itu, semestinya pemerintah memberian petunjuk agar pengusaha tidak menurunkan upah secara tidak terkontrol.

Petunjuk bisa berupa arahan bagi pekerja bila terrjadi perselisihan dengan pengusaha. Selain itu, pemerintah harus bisa menjadi penengah bila kondisi tersebut terjadi.

"Ada perusahaan yang kuat, sementara buruh tidak mau upah dikurangi. Jadi harus ada guidance," ujar dia.

Johnny juga mengusulkan, pemerintah sebaiknya tidak membatasi aturan tersebut kepada enam sektor industri. Semestinya, seluruh industri padat karya yang terkena dampak besar akibat pandemi bisa difasilitasi oleh aturan tersebut.

Buruh Pabrik
Buruh Pabrik (ANTARA/Yulius Satria Wijaya)

Hambat Pemulihan Ekonomi

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, kebijakan tersebut akan menghambat target pemulihan ekonomi tahun ini. Sebab, penurunan konsumsi buruh bisa mempengaruhi konsumsi rumah tangga nasional, meskipun porsinya tidak besar.

Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga memberikan andil besar terhadap perekonomian Indonesia. "Sedikit banyak pengaruh ke konsumsi nasional, tapi memang andilnya tidak sebesar konsumsi kelompok atas," ujar dia.

Selain itu, aturan Kemenaker tersebut juga dinilai kontradiktif dengan kebijakan countercylical pemerintah yang kerap menggelontorkan subsidi. Kebijakan yang berlawanan tersebut memicu dugaan bahawa Kemenaker belum berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

Pada 2020, Kemenaker menggelontorkan Bantuan Subsidi Upah bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Namun, pemberian subsidi tersebut dinilai tidak memberikan efek karena pekerja/buruh akan mengalami penurunan gaji dalam waktu dekat akibat Permenaker 2/2021.

Di sisi lain, kebijakan Kemenaker tersebut bisa menimbulkan kompleksitas politik ekonomi. "Kemarin upah tidak naik saja buruh demo, apalagi upah diturunkan. Ini menimbulkan masalah," ujar dia.

Ia pun menilai, semestinya Kemenaker tidak menerbitkan aturan tersebut. Sebaliknya, pemerintah perlu memberikan subsidi kepada industri agar pengusaha bisa tetap membiayai upah buruh atau karyawan.

Reporter: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...