Respons Presiden, Kapolri Buat Pedoman 11 Poin Penerapan UU ITE
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran tentang penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Surat edaran UU ITE itu bernomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.
Kapolri menerbitkan surat edaran tersebut dengan pertimbangan situasi nasional dalam penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
"Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," ujar Kapolri melalui surat edaran yang diterima Katadata.co.id, Selasa (23/2).
Listyo mengatakan Polri akan mengedepankan edukasi dan upaya persuasif, sehingga dapat menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika dan produktif dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan.
Kapolri juga meminta penyidik memprioritaskan langkah damai dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran UU ITE. "Terkecuali perkara yang bersifar memecah belah, SARA, radikalisme dan separatisme," bunyi surat edaran tersebut.
Surat edaran ini merupakan respons atas perintah Presiden Jokowi yang meminta Polri berhati-hati menerjemahkan pasal-pasal UU ITE yang multitafsir. "Saya minta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif, sekali lagi lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran Undang-Undang ITE," kata Jokowi saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2).
Berikut 11 poin daklam Surat Edaran Kapolri tersebut:
1. mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya,
2. memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat,
3. mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber,
4. dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil,
5. sejak penerimaan laporan, penyidik diminta berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
6. melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada,
7. penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara,
8. terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice, kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), radikalisme, dan separatisme,
9. korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali,
10. penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan,
11. agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.