KPK Temukan Potensi Masalah Penyaluran Insentif Covid Tenaga Kesehatan

Yuliawati
Oleh Yuliawati
23 Februari 2021, 20:22
insentif tenaga kesehatan dipotong, inefisiensi keuangan negara
ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/wsj.
Vaksinator menyuntikan vaksin COVID-19 Sinovac dosis kedua kepada tenaga kesehatan saat Gebyar Vaksin COVID-19 di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/2/2021).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima informasi mengenai dugaan manajemen rumah sakit (RS) memotong insentif tenaga kesehatan (nakes) sebesar 50% hingga 70%.

KPK mengimbau kepada manajemen RS atau pihak terkait agar tidak memotong insentif tenaga kesehatan yang berjibaku mengatasi pandemi corona.

"Pemotongan oleh pihak manajemen untuk kemudian diberikan kepada nakes atau pihak lainnya yang tidak berhubungan langsung dalam penanganan pasien Covid-19," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (23/12).

Insentif untuk tenaga kesehatan yang menangani pandemi Covid-19 diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 yang ditandatangani mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 27 April 2020.

Nilai insentif  bagi dokter spesialis sebesar Rp 15 juta, dokter umum dan gigi sebesar Rp 10 juta. Kemudian, bidan dan perawat Rp 7,5 juta dan tenaga medis lainnya sebesar Rp 5 juta per orang per bulan. Adapun santunan kematian Rp 300 juta per orang.

KPK menemukan permasalahan ini setelah melakukan kajian cepat terkait penanganan Covid-19 khususnya di bidang kesehatan pada Maret hingga akhir Juni 2020.

Dalam kajian itu, KPK menemukan potensi inefisiensi keuangan negara yang disebabkan duplikasi anggaran untuk program pemberian insentif tenaga kesehatan di daerah, yakni melalui bantuan operasional kesehatan (BOK) dan belanja tidak terduga (BTT).

Kemudian, proses pembayaran yang berjenjang menyebabkan lamanya waktu pencairan dan meningkatkan risiko penundaan dan pemotongan insentif atau santunan tenaga kesehatan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Terakhir, proses verifikasi akhir yang terpusat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat menyebabkan lamanya proses verifikasi dan berdampak pada lambatnya pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan.

KPK merekomendasikan perbaikan berupa pengajuan insentif nakes pada salah satu sumber anggaran saja (BOK atau BTT), pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan di kabupaten/kota/provinsi yang dibiayai dari BOK cukup dilakukan oleh tim verifikator daerah, dan pembayaran insentif dan santunan dilakukan secara langsung kepada nakes.

Kemenkes telah menindaklanjuti dan menerbitkan regulasi baru dengan perbaikan pada proses verifikasi dan mekanisme penyaluran dana insentif dan santuan bagi nakes yang menangani Covid-19.

"KPK meminta inspektorat dan dinas kesehatan untuk bersama-sama turut melakukan pengawasan dalam penyaluran dana insentif dan santunan bagi nakes," ujar dia.

KPK mengingatkan insentif dan santunan kepada nakes merupakan bentuk penghargaan dari pemerintah kepada nakes yang menangani Covid-19.

Banyak tenaga kesehatan di Indonesia mengalami kelelahan mental atau burnout atau kelelahan mental di masa pandemi virus corona Covid-19. Berdasarkan penelitian Departemen Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), sebanyak 82% tenaga kesehatan mengalami burnout tingkat sedang.



Penyebabnya, beban sistem layanan kesehatan yang besar pada saat ini. Seiring peningkatan jumlah kasus Covid-19, banyak pasien penderita corona yang harus dirawat di rumah sakit.

Departemen Ilmu Kedokteran FKUI melakukan penelitian sejak Februari - Agustus 2020. Adapun, pengumpulan data dilakukan pada Juni-Agustus 2020 dengan total responden 1.461 tenaga kesehatan di seluruh provinsi Indonesia.

Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...